[caption caption="Paruh Enggang yang diburu oleh para pemburu_ foto 1. dok. Yayasan Palung, Nop 2014"][/caption]Tidak pernah henti-hentinya, jerit tangis satwa selalu berkumandang, bergaung, memantul menanti  untuk dikasihani juga diselamatkan. Itu tidak lain karena nasib mereka yang sudah semakin tidak nyaman dan aman dirumah ditempat dimana mereka berasal.
Jerit tangis itu sebagai pertanda sekaligus petaka. Petaka itu tidak lain sebagai sebuah ancaman yang tak jua pergi. Merekam jejak sebuah realita, melukiskan langkah gontai.Â
Tercabik, terjerat, terperangkap hingga nafas lenyap selamanya. Ajal saban waktu tergadai, menegok hutan tanah tak lagi utuh oleh tangan-tangan jahil dan jua tangan tidak kelihatan namun siap membasmi.
Bangkai hingga tulang belulang acap kali dijumpai disetiap penjuru rimba raya yang tersisa. Tengok nasib gajah, harimau demikian juga adanya.Â
Tak luput pula kepak sayap kian sayup terdengar, paruh rangkong (enggang gading, julang, tingang) tergeletak dinanti para kolektor. Entah berapa jumlah, namun tak sedikit.
Sorak sorai di belantara dinanti para pengintai yang tak segan mencabut hembusan nafas. Daging,Taring, kuku, cula, kulit, tengkorak, sisik itu idolamu para pencari pencabut nyawaku (satwa).Â
Tak lekang oleh waktu, aku dan sahabatku sesamaku rimba raya (hutan) semakin meranggas. Rebah tak berdaya dari masa ke masa. Selalu menanti maut.
Dari dulu hingga kini terasa berbeda. Semua telah berubah. Tak banyak menegok, iba, peduli, menghargaiku. Hampir lebih separuh membiarkanku hilang tanpa harapan.Â
Sebagai penyambung nafas, ranting-ranting, dahan dan batang tak kuat lagi jua enggan berdiri menopang, berbunga, berbiji dan berbuah menjadi asupan santapan kegemaranku semakin menipis menjelang terkikis habis yang tersisa.
Rebahnya sahabatku yang tak berujung hingga kini terus berlangsung. Terus tercabut berserabut dari akar hingga rambut. Kalut sampai kalang kabut hingga terkejut saat ini, mungkin jua nanti bila tak diperhati atau dihargai.
Hidup segan mati sudah pasti, itu nyata dan tidak bisa disangkal. Bila bertahan tak lagi banyak jarak yang kulalui, area bermain berubah menjadi padang gersang bersama ilalang. Batang berganti tunggul menunggu waktu disantap rayap.
Koar penyadar tersiar menyiar jerit tangis, tetapi terkadang bergema (menggema) memantul kembali tak kunjung bersahut ribut. Bertanya kepada siapa harus mengadu?
Memang, ada terjeruji besi tetapi masih banyak yang rapi berdasi mengatur strategi, mengintai setiap lokasi yang belum berpenghuni hingga mendamba rimba raya yang semakin sempit sebagai lahan baru bernama investasi kerap kali lupa pada akar rumput yang semakin sakit dan menjerit di tanah tuan negeri sendiri.Â
Tidak untuk mencari pembenaran, tetapi ini sungguh-sungguh terjadi kepadaku (satwa), sesamaku rimba raya juga manusia. Sampai kapan aku, mungkin kita semua berhenti menjerit, menangis? Moga-moga ada rasa saling iba sesama kita untuk nafas hari ini hingga nanti.
@Ketapang, Kalbar 14/4/2016
By: Petrus Kanisius ‘Pit’-Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H