Para penantang melawan ombak mengais rejeki. Foto dok. antaranews.com.
Sayup-sayup terdengar kala sinar mentari belum memancarkan sinarnya dua pasang manusia terlihat dalam bayangan gelap menuju perahunya.
Mata tertuju, terheran dengan kenekatan dua pasang manusia yang ternyata setelah setengah abad itu tanpa ragu melawan ombak di samudera raya lautan lepas.
Perahu setengah usang itu mulai dikayuhnya dengan kayuh pertama hingga seterusnya,
Kayuh demi kayuh melawan ombak menerjang menantang tanpa takut menyerah jiwa untuk sesuap nasi,
Mengais rejeki dalam ganasnya ombang bergulung setinggi puluhan meter,
Kenekatan mereka itu ternyata telah lama mereka perankan,
Mereka hanya bersuara seperlunya saja, tangan cekatan begitu terampil membentangkan pukat yang panjangnya 10 hingga 15 meter.
Mentari sudah memancarkan sinarnya sebagai penanda pukat-pukat yang mereka bentangkan sudah siap untuk diangkat dan berharap beroleh banyak ikan, kepiting, teripang atau udang.
Setelah diangkat, terkadang tangkapan mereka jauh dari harapan, tetapi mereka tidak jera.
Kembali mereka bentangkan pukat-pukat itu kembali hingga menjelang senja menyapa. Keesokan harinya demikian lagi dan lagi, tidak pernah mengeluh terlihat dari raut wajah mereka.
Hasil dari setiap tangkapan itu tidak menentu, kadang banyak, kadang juga sedikit bahkan gigit jari. Tetapi mereka tanpa ragu dan tidak jera. Jika ada hasil mereka bawa pulang, mereka bawa juga ke rumah-rumah tetangga berharap ada mau membeli atau menukar dengan 9 bahan pokok makanan.
Ada diantarapenantang maut berujar, “ rejeki dari tangkapan demi sesuap nasi”, penopang hidup hingga membiayai anak-anak mereka mengenyam bangku sekolah.
Perahu terbalik, motor air tenggelam seolah tidak membuat mereka kapok. Prinsip mereka hanya satu, tangkapan dari hasil hari ini untuk besok. Untuk meraih apa yang mereka cita-citakan melalui anak-anaknya berharap mengubah nasib kelak.
Tak banyak, tetapi juga tidak terlalu sedikit. Bagi mereka, setiap hasil dari tangkapan mereka sebagai rejeki. Mereka selalu syukuri itu, apapun hasil yang mereka dapatkan. Esok kembali berharap rejeki kembali menghampiri. Jika mentari mulai menghangat di siang bolong dari pagi menjelang senja menyapa. Itu telah berbelas-belas tahun mereka lakukan.
Kegigihan mereka sering kali terusik oleh kapal-kapal modern asing tanpa ijin yang ingin meraup untung. Berkat penantang ombak ini pula sebagai penjaga, sesekali mereka mengusir kapal-kapal asing itu.
Bila senja menyapa, mereka berhenti sejenak merapat ke daratan untuk bersyukur melaui doa dan harapan dengan sembah sujud kepada pencipta.
Bila masih sisa-sisa tenaga, mereka kembali mengayuh lagi untuk menantang tingginya ombak untuk membentang pukat-pukat itu kembali.
Jerih payah itu secara tulus ikhlas mereka lakukan untuk menantang maut dengan ombak di laut lepas mengais rejeki oleh para nelayan pemberani di Gunung Sembilan, Pasir Mayang, Rantau Panjang, Simpang Tiga Siduk, Pulau Kumbang dan Pulau Maya Karimata di Kabupaten Kayong Utara. Para nelayan pemberani itu juga ada yang berasal dari Suka Bangun dan Kendawangan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Para nelayan pemberani itu juga tersebar di seluh pulau pesisir di Tanah Air, Indonesia.
Ketapang, 16 Pebruari 2016
By : Petrus Kanisius ‘Pit’-Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H