Kembali mereka bentangkan pukat-pukat itu kembali hingga menjelang senja menyapa. Keesokan harinya demikian lagi dan lagi, tidak pernah mengeluh terlihat dari raut wajah mereka.
Hasil dari setiap tangkapan itu tidak menentu, kadang banyak, kadang juga sedikit bahkan gigit jari. Tetapi mereka tanpa ragu dan tidak jera. Jika ada hasil mereka bawa pulang, mereka bawa juga ke rumah-rumah tetangga berharap ada mau membeli atau menukar dengan 9 bahan pokok makanan.
Ada diantarapenantang maut berujar, “ rejeki dari tangkapan demi sesuap nasi”, penopang hidup hingga membiayai anak-anak mereka mengenyam bangku sekolah.
Perahu terbalik, motor air tenggelam seolah tidak membuat mereka kapok. Prinsip mereka hanya satu, tangkapan dari hasil hari ini untuk besok. Untuk meraih apa yang mereka cita-citakan melalui anak-anaknya berharap mengubah nasib kelak.
Tak banyak, tetapi juga tidak terlalu sedikit. Bagi mereka, setiap hasil dari tangkapan mereka sebagai rejeki. Mereka selalu syukuri itu, apapun hasil yang mereka dapatkan. Esok kembali berharap rejeki kembali menghampiri. Jika mentari mulai menghangat di siang bolong dari pagi menjelang senja menyapa. Itu telah berbelas-belas tahun mereka lakukan.
Kegigihan mereka sering kali terusik oleh kapal-kapal modern asing tanpa ijin yang ingin meraup untung. Berkat penantang ombak ini pula sebagai penjaga, sesekali mereka mengusir kapal-kapal asing itu.
Bila senja menyapa, mereka berhenti sejenak merapat ke daratan untuk bersyukur melaui doa dan harapan dengan sembah sujud kepada pencipta.
Bila masih sisa-sisa tenaga, mereka kembali mengayuh lagi untuk menantang tingginya ombak untuk membentang pukat-pukat itu kembali.
Jerih payah itu secara tulus ikhlas mereka lakukan untuk menantang maut dengan ombak di laut lepas mengais rejeki oleh para nelayan pemberani di Gunung Sembilan, Pasir Mayang, Rantau Panjang, Simpang Tiga Siduk, Pulau Kumbang dan Pulau Maya Karimata di Kabupaten Kayong Utara. Para nelayan pemberani itu juga ada yang berasal dari Suka Bangun dan Kendawangan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Para nelayan pemberani itu juga tersebar di seluh pulau pesisir di Tanah Air, Indonesia.
Ketapang, 16 Pebruari 2016
By : Petrus Kanisius ‘Pit’-Yayasan Palung