Sejak resmi berdirinya negeri ini 69 tahun lalu, sudah banyak konsep pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah sebagai pengampu resmi kekuasaan yang menaungi ratusan juta rakyatnya. Dalam kurun waktu yang panjang itu, kita seperti kehilangan tujuan. Sebab, konsep yang dibangun atas nama pembangunan, senyatanya berbeda antra rencana dengan hasilnya. Kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan utamanya belum tercapai.
Bukan, sama sekali bukan karena tiadanya orang pandai di negeri ini. Bukan pula karena tidak adanya keinginan yang kuat oleh pengampu kekuasaan yang silih berganti dalam kurun waktu tertentu. Hal ini disebabkan karena belum bertemunya antara konsep yang tepat dengan orang yang benar-benar mengetahui konsep tersebut dan berani mewakafkan waktu yang dimilikinya untuk mewujudkan apa yang menjadi idealisme dalam dirinya bagi kesejahteraan bangsa.
Sebagaimana diketahui, pembangunan menggambarkan adanya perilaku atau tindakan pemerintah dengan segenap unit dan bagiannya, menjalankan tugas pemerintahan, tugas pembangunan, dan tugas pelayanan kepada masyarakat secara berdaya guna dan dapat membawa hasil. (halaman 1)
Selain itu, membangun juga dimaknai sebagai upaya peningkatan kemanfaatan kualitas sumber daya pembangunan, baik menyangkut sumber daya alam maupun sumber daya manusia. (Halaman 2).
Sampul Buku Revolusi dari Desa @dodimawardi.wordpress.com
Dengan demikian, konsep pembangunan utamanya tertuju pada dua aspek besar tersebut. Mensejahterakan manusia dengan memanfaatkan sumber daya alam yang jumlahnya amat melimpah di negeri ini.
Sayangnya, meski dua sumber daya tersebut dimiliki secara melimpah dengan kualitas terbaik di negeri ini, tujuan utama dari pembangunan itu masih jauh panggag dari api. Amat berbeda antara niat, realiasasi dan pencapaian tujuannya.
Oleh karena hal itulah, buku ini hadir ke tengah pembaca sekalian. Ditulis oleh Dr. Yansen, TP., M.Si., seorang praktisi pemerintahan yang telah mengabdikan dirinya selama dua puluh enam tahun sebagai Camat, Sekretaris Daerah dan kemudian berhasil mengantarkannya menjadi Bupati Malinau Kalimantan Utara hingga 2016 mendatang.
Sosok yang lulus program Doktoral dari Universitas Brawijaya Malang ini mengatakan, penyebab kegagalan pembangunan ini karena, “Model dan strategi yang dijalankan pemerintah tidak mampu menyentuh aspek dasar. Hal tersebut juga tidak mampu mengakomodasi berbagai kekuatan yang ada di masyarakat.”
Beliau secara nyata telah bekerja dan membagikan apa yang telah dipraktikkannya sejak menjabat sebagai Bupati Malinau 2011 lalu. Melalui gerakan yang disebut dengan GERDEMA (Gerakan Desa Membangun) ciptaannya, beliau membeberkan secara detail apa yang menjad mimpi dan diwujudkannya dalam langkah-langkah penuh makna.
Bisa jadi ini salah satu tradisi baru dalam sejarah kepemimpinan negeri ini, dimana pemimpin secara aktif menceritakan program unggulan yang benar-benar dibuatnya, bukan mengekor atau sekedar pencitraan. Sebab memang, para pencipta yang mengetahui secara saksama apa yang dibuatnya setelah melalui proses yang panjang-berupa perencanaan, penelitan, perumusan masalah, aksi di lapangan, evaluasi dan diakhiri dengan umpan balik evaluasi-akan lebih memahami di banding mereka yang hanya mengikut tanpa mengetahui apa maksud dan tujuannya.
Program yang dicanangkan dan dibahas tuntas dalam buku ini merupakan salah satu terobosan baru di dunia pemerintahan. Karenanya, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri memberikan penghargaan kategori Innovative Government Award kepada Kabupaten Malinau pada tahun 2013.
Secara ringkas, program yang bertajuk “Revolusi Dari Desa” ini dijalankan melalui tiga aspek utama. Pertama, gabungan Top-down dan bottom-up. Kedua, melibatkan semua pihak. Ketiga, dana dari berbagai pihak yang dipercayakan penglolaannya kepada Kepala Desa.
Ruh dari gerakan ini sendiri terletak pada keberanian seorang pemimpin untuk memberikan kepercayaan kepada rakyat sebagai pelaku perubahan. Sebab selama ini, rakyat amat dipinggirkan, tidak diajak diskusi, dan cenderung menjadi penerus kebijakan pemerintah. Padahal, sebagai salah satu objek perubahan, sejatinya rakyat juga mengerti tentang apa yang mereka hajatkan dari proses perubahan itu.
Peran rakyat inilah yang dijelaskan oleh Penulis melalui hikayat antara kera dan ikan di sebuah hutan belantara. Kera yang hidup bebas mengamati betapa tersiksanya para ikan yang hanya mondar mandir di air, sementara mereka bebas berlarian ke sana kemari. Lantaran merasa kasihan itulah, kera-kera itu melompat ke dalam air, menangkapi ikan dan melemparkannya ke daratan.
Satu tujuannya: agar ikan merasakan kebebasan sebagaimana yang mereka rasakan selama ini. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika ikan itu terlempar ke darat, mereka akan mati. Sebab darat bukan bukan habitat bagi ikan.
Dalam GERDEMA inilah, rakyat diajak bermusyawarah sebelum program perubahan itu digulirkan. Rakyat yang terdiri dari berbagai komponen dalam masyarakat dilibatkan dalam Pra-Musrenbangdes (Pra Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa) dan Musrenbangdes (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa).
Dari perwakilan desa terpilih yang membawa aspirasi masyarakat kemudian berkumpul untuk membahas Musrenbangcam (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan) dan berakhir di Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) Kabupaten. (Halaman 150-153)
Setelah tercapai kesepakatan bersama tentang program yang hendak dilakukan itu, dilanjutkan dengan Fungsi Pengawasan oleh pemerintah dan Umpan Balik Hasil Pengawasan. (Halaman 153-154)
Pemerintah sendiri memiliki dua peran utama sebagai pemimpin untuk mengelola (managerial) tugas sesuai dengan posisi, tugas pokok, dan fungsi yang diembannya, serta pemimpin dalam berperilaku, menyangkut keteladanan, kejernihan, dan keteduhan dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Dalam tahap konsep ini, pemerintah yang melibatkan banyak pihak dari masyarakat dan swasta harus mendetail 31 bidang yang harus dicapai dari GERDEMA ini. Dalam buku ini, Penulis menjabarkannya secara tuntas, dan bisa dijadikan contoh atau acuan di daerah lain.
Tiga puluh aspek itu terbentang luas dari Bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan, Pertambangan dan ESDM, Kehutanan dan Perkebunan, Perindustrian dan Perdagangan, Koperasi dan UKM, Penanaman Modal, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan, Sosial, Penataan Ruang, dan diakhiri oleh Bidang Arsip dan Perpustakaan sebagaimana disebutkan dalam Perbup No.13 Tahun 2011 tentang Penyerahan Urusan kepada Pemerintahan Desa.
Menurut hemat peresensi, pihak pertama yang harus membaca buku ini adalah kalangan pemerintah. Sebab di dalamnya terdapat succes story salah satu Kepala Daerah di negeri ini. Harapannya, akan banyak terobosan yang dibukukan sehingga memacu semangat untuk berbuat lebih baik untuk masyarakat.
Apa yang tersaji dala buku ini juga menegaskan bahwa memimpin erat kaitannya dengan ilmu dan semangat untuk melakukannya di lapangan. Bukan sekedar tulisan anggaran yang terparkir manis di lemari kaca nan tak tersentuh.
Jika boleh menyimpulkan, sepertinya Penulis hendak menegaskan, bahwa desa adalah miniatur terkecil sebuah negara. Jika hendak memajukan sebuag negara, maka mulailah dari desa.
Oleh karenanya, ke depan perlu dikaji, siapa yang bagus dalam memimpin desanya sebagai Kepala Desa, maka ia layak untuk diusung sebagai pemimpin di tingkat yang lebih besar.
Sebab, seperti dikatakan oleh Bupati Kedua di Kabupaten Malinau ini, “Kita wajib dan bertanggung jawab untuk mendorong dan melakukan sesuatu yang inovatif, kreatif serta berinisiatif untuk mengubah wajah negeri ini.” (halaman 9)
Terimakasih atas pencerahannya, Doktor Yansen.
Detail Buku
Dari Desa untuk Kesejahteraan Bangsa
Judul: Revolusi dari Desa
Penulis: Dr. Yansen, TP., M.Si
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan: Pertama, 2014
Tebal: 180 Halaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H