Mataku mulai lelah, tak sejeli dulu dari segala yang nampak, tapi hati menangis mendata arsip-arsip pada sebuah kanvas digital, menuliskan kalimat-kalimat formal bernada kaku merayuku lalu bercumbu memadu ilmu.
Arsip-arsip usang itu kekasihku yang terbuang, ternyata engkaulah lembaran penting yang selama ini mereka cari-cari.
Entah sampai kapan, rasanya tak akan rampung ku garap sendirian. Namun begitu belum jua ada bala bantuan, apapun itu bentuknya.
Di kantor, juga di rumah aku peluk erat lembaran kertas itu di dekat meja berdampingan dengan komputer jinjing. Agar terkenang dalam otak rentaku sesekali arsip-arsip lawas itu ku digitalisasikan.
Lebih dari itu, butuh waktu yang tidak sebentar untuk memahami perasaan arsiparis melawan sepi dan partikel debu yang menyakitkan pernafasan.
Dan butuh waktu yang lebih lama dari itu untuk menuntaskan tuntutan kinerja sebelum batas pengabdian mengakhiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H