Petugas Humas harus mengambil peran dan kendali dalam situasi seperti ini. Saya beberapa kali mengalami.
Kedua, saya selalu memberikan informasi dan keterangan tertulis. Kalaupun harus melalui lisan (misalnya wawancara telepon atau doorstop), saya selalu melengkapi dengan recorder. Apalagi sekarang HP kan sudah pada bisa merekam. Ini untuk memastikan agar informasi yang saya sampaikan tidak dikutip keliru.
Menjawab pertanyaan dari Sumatera Barat, Â Situasi yang mirip kami alami juga di Sulawesi Selatan. Kasus pertama kami dialporkan pada Kamis, 19 Maret 2020. Coba lihat pergerakannya: 2 kasus (dua hari tidak ada penambahan), 4 kasus, 9 kasus, 13 kasus, 27 kasus dan 29 kasus.
Dalam dunia kehumasan, ada semacam ungkapan "kutukan orang Humas" begini. "Humas itu adalah the last to know, the first to respon".
Selalu menjadi yang terakhir mengetahui suatu hal diinstitusi kita, tapi selalu diminta merespon pertama kali.
Sikap Jubir Covid-19 pada awalnya saya lihat memang agak kaku, dan kadang keseleo lidah. Mungkin karena beliau bukan orang Humas. Tapi akhir-akhir ini saya amati beliau makin firm. Mudah-mudahan seiring waktu akan makin memberi ketenangan dan menjadi bagian dari solusi.
Menjawab pertanyaan Mahasiswi, begini, faktanya begitu. Karena karakter publik itu, kalau didebat semakin menjadi-jadi dan akan makin runyam. Mereka akan mengungkit "aib-aib" lain.
Jadi langkah awal jika hadapi situasi demikian adalah "akui dan segera minta maaf". Jangan disangkal, apalagi jika ada "smoking gun".
Tentu saja tidak cukup berhenti disitu, Kita kemudian lakukan langkah, cari akar masalahnya, ambil solusi, dan sampaikan kembali ke publik apa yang telah dilakukan.
Itu yang saya lakukan di kasus booth pameran yang lalu.
Dijelaskan Ishaq Rahman, tantangannya di sini, adalah aspek koordinasi kita sering masih lemah. Lembaga dan pihak terkait harus mau sering-sering duduk bersama.