Foto bareng Igor Saykoji
Belajar pada alam itu artinya tidak hanya memaknai alam pemberi sebagai kehidupan melainkan juga sebuah buku.
Kita mungkin harus membuka berlembar-lembar buku untuk tahu sebuah ilmu pengetahuan. Akan tetapi dengan menjelajahi alam atau dengan kata lain pergi merantau kamu akan tahu banyak hal.
Alam ini sangat luas dan jika kita mau berjalan di atasnya, maka kita bisa tahu banyak ilmu pengetahuan ibarat kalau kita tidak pernah membuka buku, niscaya kamu tidak akan dapat ilmu. Sementara jika tidak pernah berjalan di muka bumi kamu tidak akan pernah tahu betapa luas dunia ini.
Waktu itu, saya belum mengenal aplikasi media sosial sebut saja yahoo apalagi facebook, twitter, path, youtube, telegram hingga whatsApp.Â
Jadi pertama kalinya saya di tanah rantau merasakan seperti apa rasanya frustrasi karena bingung membalas chatting saking banyaknya group.Â
Bahkan, waktu itu asing banget menyebut namanya HANK. Akun medsos instragram saja masih awam.
Perantau saat itu masih jadul banget, belum bisa update status agar dibaca atau diabaikan warganet.
Saat itu belum tercipta smartphone, kepergian ke tanah rantau terasa benar-benar membuat sedih di hati.Â
Alih-alih mengerti dunia milenial, kalau kita pernah membaca buku-buku sejarah dan atau banyak atau malah bertanya ke mbah google. Sejarahnya bahwa nenek moyang orang Indonesia itu konon katanya pelaut.
Tidak salah perjalanan jauh ke tanah rantau pada masa itu satu-satunya moda tranportasi yang terjangkau untuk melakukan perjalanan adalah kapal laut, jalur laut merupakan daya tarik sendiri bagi perantau kala itu untuk datang dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan berbeda-beda buat merubah nasib, ada yang ingin menjad Pegawai Negeri Sipil. Dimana untuk menjadi PNS atau ASN zaman dulu tidak sesulit jaman sekarang.
Dan itu tidak salah, sebab di era industri 4.0 sekarang SDM dituntut lebih profesional dan tidak gagap teknologi. SDMnya harus lebih menonjolkan kualitas ketimbang isi dalam tas.
Yang jelas saat itu, tahun 1995 saya pergi merantau ke Ujung Pandang sekarang berganti nama makassar belum bisa naik pesawat terbang, lantaran belum mampu menjangkau harga tiket pesawat.
Selain pesawat terbang, Kapal Laut menjadi alternatif terbaik menyeberangi pulau Sulawesi. Terombang-ambing di laut lepas, membelah ganasnya terjangan ombak Masalembo yang konon memakan korban, penumpang kapal laut Tampomas II, pada saat itu bertolak dari Tanjung Priok menuju Ujung Pandang.
Atas tragedi "berdarah" tersebut, tak menyurutkan niatku buat merantau. Merantau jaman dulu benar-benar putus hubungan keluarga karena itu ada istilah Merantau tanpa kembali. Jadi komunikasi betul-betul terputus kalaupun mau berkirim kabar satu-satunya cara melalui menulis surat. Cara lain berkomunikasi memakai jasa warung telekomunikasi atau wartel, jaman dulu telepon genggam masih tergolong barang tersier.
Berbeda jauh dengan perantau jaman sekarang, telepon genggam berbasis android sudah tergolong kebutuhan primer. Persaingan merek dagang ponsel atau telepon genggam memudahkan seseorang memiliki lebih dari satu unit telepon pintar.
Belum lagi, zaman sekarang sudah ada layanan yang namanya video call, Skype dan google Duo sehingga segala bentuk rasa kangen, rindu dengan orang-orang tersayang, tercinta, terobati dengan mudah.
Jika dulu butuh berhari-hari untuk sampai di rantau, sekarang keberadaan pesawat memperpendek jarak tempuh.
Selain mudah dan cepat harga tiket saat ini terbilang masih terjangkau kalangan menengah ke bawah. Misalnya dari Makassar menuju Surabaya menggunakan pesawat terbang hanya menempuh waktu 1 jam 30 menit.
Apabila memilih moda transportasi laut untuk sampai ke Surabaya kita harus bermalam di tengah laut lebih kurang 12. Bayangkan betapa beruntungnya perantau jaman sekarang semua fasilitas serba mudah, tidak perlu mengeluh, tidak usah bergaduh yang jauh terasa dekat.
Belum lagi untuk mereka yang banyak uang atau perjalanan dinas menikmati fasilitas negara pulang ke kampung halaman sangatlah mudah, ibarat pergi buang air besar saja.
Merantau itu tidak mudah, banyak onak duri dilalui di tanah rantau, hidup tanpa keluarga, jauh sanak saudara, semua dilakukan sendiri atau mandiri.
Perantau itu harus tahan banting, jangan mudah menyerah dipengaruhi oleh perbuatan yang merugikan niat baik perantau itu sendiri, percaya pada diri sendiri. Kudu bermental baja, jangan bermental kerupuk agar tidak mudah di remuk-remuk. Bahasa ekstremnya mati pun jasad kita tidak ada yang menangisi.
Terpenting harus survive atau bertahan hidup di perantauan dan para perantau tidak galau, Â berani hijrah dari zona nyaman buat menjemput impian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H