Perjalanan saya ke Graha Pena sebagai tempat Launching buku "Merobek Demokrasi". Peluncuran buku dilaksanakan pada, Sabtu (25/08/2018) di Studio Mini Redaksi Fajar Graha Pena Lantai 4 berjalan lancar.
Tak hanya prosesi launching bukunya saja, di tempat istimewa tersebut, ditemui sosok yang membuat pandangan saya tertuju padanya. Bagaimana tidak, pasalnya di antara narasumber yang membedah buku, ada satu sosok inspirator: Andi Baso Tancung.
Di balik keterbatasannya, Andi Baso Tancung memiliki kemauan di luar batas orang-prang berbadan normal, beliau berjuang menghidupkan literasi dengan cara mengumpulkan opini-opini populer di Koran Fajar.
Sungguh, suatu anugrah yang luar biasa diberikan kepada Andi Baso Tancung yang akrab disapa Tancung.
Meski berlangganan keluar masuk Rumah Sakit dan mengandalkan kursi roda buat beraktivitas, sosoknya seperti orang sehat, mempunyai semangat, motivasi tinggi, dan begitu antusias apabila diajak diskusi masalah buku. Sekiranya tepat Andi Baso Tancung disebut sebagai inspirator opini yang tererak.
Andi Baso Tancung adalah pria yang mempunyai keterbatasan fisik, yaitu hanya memilik satu kaki dan hanya mengandalkan kursi roda. Namun di balik keterbatasannya, ia juga Ketua Umum Ikatan Penulis Indonesia Makassar (IPIM).
Hal ini membuat saya kerdil dihadapan beliau. Memang diakui Allah SWT tidak merubah nasib suatu kaum, apabila kaum tersebut tidak mau berusaha merubahnya. Dan kerja keras sang inspirator inilah lahir karya anak bangsa berupa buku kumpulan opini pilihan yang tayang di harian fajar.
Andi Baso Tancung mampu menyulap dirinya yang tidak mampu apa-apa menjadi sosok inspirator di dunia menulis.
Hati membatin, suatu saat saya harus kuat dan produktif seperti Andi Baso Tancung. Semangat beliau merupakan pelecut bagi saya untuk tetap menulis. Bagi saya sebagai pengidap Epilepsi, menulis salah satu sarana olahraga otak agar tidak mudah pikun dan sekaligus bersahabat dengan epilepsi.
Epilepsi ini juga dianggap penyakit menular dan kesurupan yang telah memasyarakat, padahal itu hanya stigma-stigma negatif mendiskritkan orang dengan epilepsi (ODE). Â Walaupun demikian selain sebagai ASN saya tetap optimis menulis.
Usaha keras Andi Baso Tancung untuk mencari cara mengoleksi opini-opini di Harian Fajar membuahkan hasil, bersama dua sahabatnya Faisal Syam dan Ahmadin Umar, Tancung mampu mengumpulkan sebanyak 40 opini pilihan dari penulis-penulis cerdas disekitar Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, termasuk opini pilihan dari luar Sulawesi Selatan.
Launching buku tersebut diawali diskusi politik "Merobek Demokrasi". Diskusi dan launching buku tersebut menghadirkan pembicara-pembicara cerdas, di antaranya Aswar Hasan, selaku Komisioner Komisi Informasi Publik, Sulkaf S. Latief selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, Â Akbar Hamdan dari Divisi Of New Fajar Koran, dan tak lupa hadir M. Ghufron H. Kordik dari Percetakan Pijar Press, dan Ilham "Ilo" Wasih sebagai Moderatornya.
Salah satu tangan kanan Andi Baso Tancung diletakkan disandaran kursi roda karena merasakan sakit dan salah satu kaki beliau teramputasi, Â dengan gerakan terbatas itu namanya begitu disegani dalam dunia menulis. Itulah awal pertemuanku dengan sosok inspiratif dikehidupan yang fana ini.
Beliau tak merasakan kekurangan itu, baginya seakan hidup menjadi lebih berwarna, sebab dibalik kesuksesan suami hebat, berdiri istri luar biasa disampingnya.
Tidak terbayangkan kalau saya harus menjadi Andi Baso Tancung. Keterbatasan fisiknya mungkin bisa membuat hidup terasa tidak berarti. Karena bingung apa yang harus dilakukan dengan keterbatasan itu.
Tidak demikian dengan Andi Baso Tancung, bertemu dengan seorang inspirator yang berketerbatasan membuatku terbuai dan gagal fokus menyimak diskusi dari para narasumber.
Tidak ada kata yang cocok untuk menyatakan kepadanya selain sebagai inspirator Ikatan Penulis Indonesia Makassar (IPIM), segala hidupnya ia habiskan buat menyalurkan ilmu (pembelajaran). Tancung dapat melakukannya dengan berhasil.
Awalnya diskusi dan peluncuran buku ini akan berlangsung biasa-biasa saja, setelah menyimak sembari memperhatikan sosok Andi Baso Tancung, perlahan namun pasti bahwa penilaianku salah besar.
Sosok yang satu ini memang luar biasa bagi saya. Memberikan keyakinan bagi saya bahwa diatas kekurangan pasti ada kelebihan, namun kelebihan tersebut harus diasah terus dan selalu berusaha menggalinya. Selain dari pada itu diskusi ini membahas politik Bandit, Badut dan Bandar.Â
Salah satu pembicara yang membangunkanku dari tidur, dibahasnya Politik Bandit, Badut dan Bandar. Disampaikan Aswar Hasan, judul buku  "Merobek Demokrasi" membaca judulnya, buku ini terkesan provokatif, namun setelah membuka opini-opini didalamya, isinya bisa dipertanggungjawabkan." Kesan Aswar.
Dijelaskan pula bahwa buku Merobek Demokrasi sebagai penggambaran kondisi bangsa saat ini. Proses demokrasi tercabik-cabik atau dirobek-robek oleh tiga aktor demokrasi. Aswar mengistilahkan mereka sebagai Bandit, Badut dan Bandar politik. Mendengar istilah ini para peserta diskusi yang tadinya monoton, sontak tertawa lepas tanpa beban dan itu memang fakta terjadi menggerus panggung politik.
"Mancur Llyod seorang profesor, meneliti dalam politik Rusia, runtuhnya Pemerintahan Otoriter dan beralih ke sistem demokrasi. Kondisi tersebut juga terjadi di Indonesia, setelah bergulirnya reformasi, saat bersamaan bermunculan bandit-bandit yang hidup dari praktik politik, terutama memasuki Pemilihan Kepala Daerah," Ungkap Aswar.
"Di Pilkada itu bukan hanya bandit, juga mereka para bandar politik membiayai peserta Pilkada. Saat yang dibiayai itu menang, kemudian mereka menarik untung melalui sandera APBD," bebernya. Dan saya rasa tidak hanya APBD yang tersandera, tetapi manuver-manuver Bandar Politik pun menyasar APBN, cara-cara inilah yang merobek-merobek demokrasi.
"Badut politik, jelas Aswar, adalah orang-orang yang dipasang, dengan tujuan kepentingan kekuasaan khususnya oleh bandar dan bandit. Menjadikan setiap calon Kepala Daerah sebagai boneka politik untuk kepentingan bandar dan bandit. Lantas bagaimana cara melawan itu? Aswar mengurangi tiga hal mendesak yang perlu dilakukan. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, indeks pendidikan, dan moral pelaku politik. "Karena pada saat tingkat kemiskinan masyarakat masih tinggi, mereka sangat mudah terbeli para bandar," tuturnya.
Ide membukukan opini yang telah dimuat itu, keluar dari ketua Ikatan Penulis Indonesia Makassar (IPIM), Andi Baso Tancung. Ia juga menjadi salah satu editor dalam buku yang memuat 40 judul opini tersebut.
Ia mengurai, opini merupakan salah satu sumber ilmu yang ada di koran. Sebab, membuat Opini tidaklah mudah. Penulisnya tergolong orang yang cerdas. Mesti menuangkan permasalahan, fenomena, atau peristiwa dalam sebuah tulisan.
"Kami dari IPIM melihat bahwa ini ilmu akan terbuang percuma jika tidak di bukukan. Makanya ada ide ini," kata Andi Baso Tancung.
"Kelak, buku ini akan menjadi sumber informasi bagi generasi akan datang. Menulis Opini bukanlah sesuatu yang mudah, harus melihat fenomena, dan peristiwa yang aktual pada saat itu untuk dijadikan tulisan," tukas Andi Baso Tancung bersemangat.
Rasa syukur pula yang harus diucapkan kepada Tuhan bagi kita orang yang sempurna dari segi fisik. Kadang kita tidak merasa anugrah tersebut dan selalu mengeluh dengan pemberian-Nya. Dan Tuhan adalah maha adil dengan segala pemberian-Nya.
Seusai ritual foto bersama, saya memanfaatkan waktu luang, mendekati sosok inspirator Andi Baso Tancung untuk membubuhkan tanda tangan di buku "Merobek Demokrasi." Tanpa nyana, esoknya foto saya terpampang nyata di halaman pertama harian Fajar Minggu 26 Agustus 2018, terimakasih fotografernya kreatif banget.
Meminjam ungkapan Aswar Hasan, menulis itu pekerjaan orang merdeka yang mengungkung fikirannya melalui tulisannya secara merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H