Pemerintah Daerah terkesan tutup mata akan kelangsungan hidup pengemudi angkutan konvensional dan bentor, pasalnya sampai saat sekarang belum dikeluarkannya Peraturan Daerah yang mengatur angkutan berbasis daring atau online di kota Makassar. Â Pertanyaannya, tarif serta keberadaan angkutan konvensional dan bentor belum diatur dalam regulasi, jadi impas dong?
Massa juga berunjuk rasa di depan kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, menuntut DPRD membuat aturan yang membatasi jumlah angkutan online. Karena selama angkutan online beroperasi, pendapatan mereka turun drastis. Sangat memalukan aksi tersebut berujung ricuh, akibatnya bukan menyelesaikan masalah justru menambah masalah bagi pengguna angkutan umum. Biarkan penumpang memilih, mau menggunakan transportasi online atau konvensional kan sama-sama mencari rezeki.
Warga Makassr sekarang sudah cerdas-cerdas, tidak usah dipaksa-paksa, sebagai pengguna jasa angkutan biarkan memilih jenis angkutan. Kenapa selama ini, warga memilih mengguna angkutan berbasis online, selain pelayanannya terbilang ramah ketimbang konvensional juga mudah dipesan melalui aplikasi. Pengguna pun mengetahui tarif yang harus dibayar, terpenting tidak kepanasan, tidak kehujanan di dalam mobil turun sampai didepan rumah.
Perbedaan terlihat pada segi tarif (bukan taksi yang menggunakan argometer). Misalnya, jarak tempuh transportasi online dari Jalan Perintis Kemerdekaan ke Jalan Pettarani Rp. 30.000,- tercantum di aplikasi. Sementara menggunakan jasa transportasi konvensional Bentor (becak montor) lebih sering beradu mulut, jika tidak pandai menawar maka siap-siap merogoh kocek lebih dalam, harganya semau-maunya pengemudi bentor. Inikah yang diinginkan?. Jika demikian maka pelanggan pada lari.
Diakui atau tidak keberadaan angkut konvensional masih berperan penting sebagai sarana transportasi alternatif. Akan tetapi dari segi armada pelayanan, keamanan, kenyaman transportasi berbasis online lebih unggul.
Meminjam kata-kata Afi Nihaya Faradisa, "Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial."
"Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan."
."Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir."
Sudah pada dewasa to!.
Makassar, 30 September 2017