Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Gagal Menikah Gara-gara Uang Panai, Haruskah?

17 September 2016   10:02 Diperbarui: 17 September 2016   10:26 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa kali saya sering melihat bahkan ikut hadir memenuhi uandangan perkawinan masyarakat Bugis-Makassar. Entah ini aneh atau memang keharusan, ada yang mengganjal pikiran saya. Haruskah PANAI’  menjadi momok menakutkan bagi mempelai laki-laki?? Adakah yang mampu menjelaskan dari mana asal muasal hal seperti itu???

Belum lagi kalau calon mempelai wanitanya punya strata sosial serta tingkat berpendidikan tinggi, prasarat penentu jumlah uang untuk melamar. Bahkan jika keluarganya ikut andil, akan menjadi boomerang bagi pihak laki-laki. Makanya tidak jarang mereka terpaksa melakukan aksi nekat 'silariang' (kawin lari) kompleksitas merupakan jalan pintas terakhir yang harus di tempuh, tanpa memikirkan akibat yang terjadi dibelakang, walau aib sekalipun buat keluarga besarnya.

Bahkan pernah saya mendengar bahwa uang PANAI gadis Bugis-Makassar sampai Rp. 500 juta melebihi harga sapi atau tedong bunga (kerbau bule di Tana Toraja) kisaran Rp. 200 jutaan. Sangat disayangkan moderenisasi belum seluruhnya merubah mindset intelektualitas, tergadai uang panai begitu prestise. Memangnya anak wanita itu barang jualan kah...???

Kok pakai tawar-menawar ya!

Kalau mau tawar menawar bukankah di pasar. Pasti banyak pembelinya...

Apakah salah kalau saya berpendapat seperti ini?

Bagi perantau seperi saya tidak berani melamar dengan mahar sebanyak itu, hanya berkata dalam hati, “Kalau berniat menikahi gadis  Bugis-Makassar berstrata darah biru/ningrat, Syarat pertama  kaya raya. Kedua mampu memenuhi permintaan calon mempelai wanita. Ketiga siap-siap kecewa karena ditolak, lantaran tidak ada kesepakatan.” Memang kenyataannya seperti itu, ketika ditolak siri’ pantang melamar untuk ke tiga kali.

Setelah terkumpul uang panainya baru sepakat, menggelar pesta perkamwinan tersebut meriah.  Ada seserahan/erang-erang, dekorasinya mewah, prasmanan lengkap dan melimpah untuk menjamu tamu undangan jumlahnya ribuan.

Belum termasuk sewa gedung untuk menggelar pesta, sewa pakaian pengantin mewah bersulam sutera, dengan maksud dan tujuan buat menyenangkan para undangan, apatah lagi dari keluarga terpandang tentu sesuatu yang wajib digelar.

Belum lagi rangkaian ERANG-ERANGnya (seserahan yang diberikan kepada mempelai wanita) harus bernilai tinggi. Zaman modern seperti sekarang harusnya uang panai disesuaikan kondisi perekonomian calon suaminya. Tidak boleh hanya memandang strata kaya saja. Apalagi mereka dilandasi rasa suka sama suka bukan dipaksakan. Daripada menikah karena kecelakaan/hamil duluan, pilih yang mana? Ujung-ujungnya keluarga juga yang malu.  Demi uang panai Rp. 100 juta hingga Rp. 200 juta megorbankan perasaan cinta anaknya demi pengakuan identitas ditengah masyarakat.

Menikahi gadis Bugis-Makassar “mahal” tidak semudah membalik telapak tangan bagi keluarga pas-pasan, disebabkan uang panai. Sangat disayangkan hingga mengundang rasa iba ketika berhadapan dengan cinta yang begitu mahal terbentur uang mahar. Jangan heran masih banyak pemuda yang belum mapan belum berani melamar kekasihnya, kasihan.

Banyak terjadi hal nekat sedemikian sampai saat ini, gara-gara tidak ada restu dari orang tua kedua belah pihak. Benar sekali bukan lagi zaman 'SITI  NURBAYA' terpaksa menikah dengan seorang bandot tua, Datuk Maringgih rentenir kaya raya berbadan kurus dan beristri banyak di karenakan orang tua Siti Nurbaya terbelit hutang. Kekasih Samsul Bahri sempat menolak, tapi apalah daya demi melunasi hutang, akhirnya terpaksa dipersunting Datuk Maringgih. Jalinan cinta mereka berdua menjadi tumbal.  Kisah tersebut sebagai inspirasi agar tradisi panai di era moderenisasi tidak disalah artikan makna dan budaya lokal sebagai gengsi pribadi, sesungguhnya kedua belah pihak itu seharusnya menjaga perasaan masing-masing agar tidak ada yang terluka. Gagal menikah gara-gara uang panai’, haruskah?

Dalam hal ini yang diuntungkan pria paruh baya, pria muda juga ada kok akan tetapi masih titungan jari. Mapan, kaya raya, berpenghasilan milyaran, tampang sih bukan jaminan asal mampu memenuhi uang panai sebagai prasyarat melamar seorang anak gadis Bugis-Makassar dipastikan akan langsung diterima, sanjungan pun tersungging indah dari pihak mempelai wanita. Memang tidak ada orang tua yang mau melihat anaknya hidup dalam kesususahan atau tidak bahagia. Pertanyaannya gara-gara STRATA  SOSIAL apakah hidup anak gadis anda terjamin bahagia lahir dan bathin?. Kasihan mereka..Lagi lagi lagi soal UANG  PANAI.

Tidak jarang banyak pemuda hampir putus asa mengejar cinta panai, putus asa, mundur, terkadang menjadi alasan terbaik mengejar cintanya. Dibutuhkan perjuangan ekstra mendapatkan kekasih idamannya. Pria Bugis-Makassar memang sensitif jika harga dirinya terusik, padahal faktanya yang di hargai tinggi itu wanita, ada tingkatan hargaya. Seperti pepatah “kopi boleh pahit, tapi hidup jangan sepahit kopi” gambaran untuk pemuda-pemudi yang jatuh cinta terbentur uang panai. Masak begitu saja nyerah bro...move on dong, dunia tak selebar daun kelor bung, berfikir realistis wanita tidak hanya satu, ratusan bahkan ribuan jumlahnya diluar sana, kemungkinan besar meringankan cinta kalian, tanpa harus melakukan tindakan konyol “cinta ditolak dukun bertindak,” ayo semangat!

Buktikan, sebagai pemuda Bugis-Makassar yang sedang jatuh cinta, bertekat pantang pulang sebelum membawa uang panai apapun caranya demi memenuhi permintaan pihak keluarga pacar kalian.

Bagi kalangan bangsawan/darah biru, uang panai budaya warisan nenek moyang, bukan lagi sebuah tradisi yang harus dilestarikan melainkan GENGSI kebanggaan identitas diri.  Bahkan tidak salah jika orang-orang berkata apabila ingin menikahi gadis Bugis-Makassar sangatlah mahal. Tentu banyak faktor penyebab pasangan kekasih gagal kawin, salah satunya...ya...berat di Uang Panai.  

Sampai saat ini tetap uang panai tetap eksis dilakukan oleh masyarakat Sulawesi Selatan, meskipun beberapa golongan sudah terjadi pergeseran persepsi. Disatu sisi tidak ada yang disalahkan karena adat merupakan tradisi nenek moyang harus tetap dilestarikan, maka sangat disayangkan apabila segelintir kalangan menyalahgunakan makna Uang panai, tradisi menjadi gengsi.

Makassar, 17 September 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun