Keberadaannya sangat meresahkan karena menambang dengan cara berpindah-pindah lokasi,awalnya hanya sebelah utara atau satu titik, kini penambangan menjadi tiga titik.Volume truk-truk seukuran gajah mengangkut tanah dan batu pun kian bertambah tiga kali lipat dari sebelumnya. Semula sekitar 50 truk yang beroperasi kini mencapai 100 truk perhari, beroperasi mulai pukul 07:00 WITA sampai pukul 18.00 WITA bahkan sampai setelah magrib aktif mengeruk tanah, tidak jarang mereka mulai beroperasi setelah shalat subuh.
Bukan hanya sekali atau dua kali saja dilakukan protes bahkan berkali-kali aksi dilakukan, namun tetap tidak membuahkan hasil, bahkan warga pernah mencoba menutup tambang, tetapi warga dihadang parang oleh mereka yang mendukung tambang, demi menghindari terjadinya pertumpahan darah, warga akhirnya mundur. Jangankan warga, pemerintah setempat pun dibuat tidak berdaya melawan penambang. Pemerintah setempat tidak tinggal diam menghentikan kegiatan penambangan di bukit Bollangi, lebih dikarenakan pemerintah setempat mendapat tekanan “konspirasi” pemilik modal. Akhirnya hanya bisa pasrah menerima dan mengelus dada. Warga hanya bersabar dan menikmati debu serta menyaksikan penambang menghancurkan keindahan desa kami.
Menyaksikan maraknya aktivitas penambangan Galian C di Kecamatan Pattalasang desa Timbusseng, lambat laun pasti akan terjadi petaka lingkungan. Korporate bermodal dan pihak-pihak “pemberi” ijin serampangan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan perlahan tapi pasti diprediksi secara kasat mata lambat laun akan terlihat.
Aspirasi berujung hampa
Berangkat dari keresahan tersebut, akhirnya pada tahun 2015 warga mencoba mencari jalan keluar dengan meminta bantuan dan dukungan dari pemerintah daerah agar tambang tersebut bisa dihentikan. Semua aspirasi berujung sia-sia, tanpa menghasilkan jawaban pasti alias nihil. Warga tidak punya cukup beking untuk menghentikan aktifitas tambang. Hingga warga mencoba melaporkan tambang ke Instansi Lingkungan Hidup terdekat, pada saat itu dari pihak berkompeten berkata, “bahwa mereka (tim pengawas) sudah turun melihat langsung di lapangan, akan tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak, katanya izin penambangan dikeluarkan oleh provinsi.” Kemudian di arahkan ke Dinas pertambangan, hasilnya sama saja. Seperti inikah bentuk otorisasi pemerintahan otonom.
Warga pernah menempuh jalan demontrasi, semua sudah disiapkan termasuk budget, kemudian niat tersebut diurungkan karena Perlawanan warga desa Timbuseng seringkali diselesaikan dengan kekerasan psikis dan intimidasi dari pihak yang pro ke tambang. Tidak dapat disangkal, operasional Tambang “mengunduh” begitu leluasa material tanah dari perut bumi menciptakan petaka. Akan berdampak pada kerusakan ekosistem. Kerusakan tersebut sifatnya permanent, sekali suatu daerah dibuka untuk tambang, maka daerah tersebut akan berpotensi menjadi rusak selamanya, apapun dalihnya. Kerusakan ekositem yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan: perubahan bentuk lahan dalam hal ini bukit bollangi, penurunan produktivitas tanah, terjadi erosi, hilangnya habitat flora fauna, perubahan iklim baik mikro maupun makro.
Saya sadar menulis permasalahan tambang sama saja mempertaruhkan nyawa, tapi tidak apa-apa, kalau tidak ada yang menulis siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Masih ingat kisah heroik “Salim Kancil” memberontak penambangan pasir illegal di Lumajang Jawa Timur yang dibekingi “korporasi” hingga berujung maut. Bukan rahasia umum betapa rapuhnya rakyat, ketika berhadapan dengan pemerintah. Karena pemerintahan kita ini adalah pemerintahan yang “korporatis”. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang perorang/perusahaan. Sindiran terhadap pemerintah kita, bahwa di indonesia ini pemerintahnya lebih dominan mengurusi dasi dan sepatu orang kaya, dari pada mengurusi “periuk nasi” orang miskin.
Kalaupun keadaan berbicara lain, mereka hanya bisa pasrah, mungkin yang “memiliki keadilan” yang akan berbicara, dan alam juga pasti akan berbicara dengan sendirinya, bahkan seorang Salim Kancil dan Tosan, aktivis Lingkungan yang dibunuh di Lumajang lantaran berani melawan kapitalisasi sumber daya alam adalah bukti bagaimana perjuangan terhadap nilai-nilai kebaikan sangatlah beresiko bahkan mengorbankan nyawa.
Semoga aksi mereka bisa di dengar. Meski, semua kita sangat sadar betapa suara kaum marjinal selalu tak pernah didengar oleh penguasa (sebagaimana Mahatma Gandhi katakan di awal tulisan ini).