Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Timbuseng (Bukan) Desa Tambang

30 Mei 2016   08:56 Diperbarui: 3 Juni 2016   14:04 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberadaannya sangat meresahkan karena menambang dengan cara berpindah-pindah lokasi,awalnya hanya sebelah utara atau satu titik, kini penambangan menjadi tiga titik.Volume truk-truk seukuran gajah mengangkut tanah dan batu pun kian bertambah tiga kali lipat dari sebelumnya. Semula sekitar 50 truk yang beroperasi kini mencapai 100 truk perhari, beroperasi mulai pukul 07:00 WITA sampai pukul 18.00 WITA bahkan sampai setelah magrib aktif mengeruk tanah, tidak jarang mereka mulai beroperasi setelah shalat subuh.

angkut-material1-574ba815c323bddd040c1ea6.jpg
angkut-material1-574ba815c323bddd040c1ea6.jpg
Iring-iringan truk pengangkut material tersebut berukuran raksasa menutup pandangan kendaraan lain sehingga menimbulkan kemacetan serta membahayakan keselamatan pengguna kendaraan yang ingin melintasinya, faktor lain adalah sopirnya ugal-ugalan.Selain Mobil-mobil berukuran jumbo,alat-berat pun semakin bertambah awalnya hanya 3 buah menjadi 7 buah. Meskipun ada larangan menambang dari warga saat penghujan, masih ada penambang “nakal” tetap nekat melakukan operasi menyebabkan jalan berlumpur. Jalan yang berlumpur, licin dan rusak sangat berbahaya sehingga menelan banyak korban, tidak jarang anak sekolah menjadi korban. Salah satu warga yang tinggal diatas bukit Bollangi pernah menjadi korban. Warga yang melalui jalan penurunan dari bukit yang licin dan berlumpur selalu was-was saat, berdampak buruk bagi keselamatan warga setempat. Seorang anak terjatuh hingga luka parah, menyebabkan tidak bisa mengikuti proses belajar di sekolah. Orang tuanya sangat marah dan membawa massa untuk menutup jalan tersebut agar tidak dilalui penambang, akan tetapi mereka di pukul mundur oleh pihak-pihak mengutip keuntungan atas keberadaan tambang.

Bukan hanya sekali atau dua kali saja dilakukan protes bahkan berkali-kali aksi dilakukan, namun tetap tidak membuahkan hasil, bahkan warga pernah mencoba menutup tambang, tetapi warga dihadang parang oleh mereka yang mendukung tambang, demi menghindari terjadinya pertumpahan darah, warga akhirnya mundur. Jangankan warga, pemerintah setempat pun dibuat tidak berdaya melawan penambang. Pemerintah setempat tidak tinggal diam menghentikan kegiatan penambangan di bukit Bollangi, lebih dikarenakan pemerintah setempat mendapat tekanan “konspirasi” pemilik modal. Akhirnya hanya bisa pasrah menerima dan mengelus dada. Warga hanya bersabar dan menikmati debu serta menyaksikan penambang menghancurkan keindahan desa kami.

jalan-aspal-berdebu-ok-574e2bb6f47a61410f2c578c.jpg
jalan-aspal-berdebu-ok-574e2bb6f47a61410f2c578c.jpg
Yang menjadi ketakutan warga akan terjadi longsor jika tiba musim penghujan. Tapi apalah daya, warga sekitar tidak punya kuasa, penambangan terus saja dilakukan, menikmati debu yang setiap hari berterbangan di udara. Telah dilakukan banyak upaya agar tambang bisa dihentikan karena kami/warga takut akan dampak buruknya terhadap anak cucu mendatang. Sekarang, sudah banyak dampak yang dirasakan oleh masyarakat desa Timbuseng, seperti terjadi banjir dan menyebabkan salah satu tembok rumah warga roboh, belum lagi jalanan yang digenangi air, hal ini dikarenakan sungai telah tertimbun tanah, jalan berlumpur dan licin serta berlubang menyebabkan terjadinya kecelakaan, ketiba datang musim kemarau kekeringan melanda dan para petani  kekurangan air untuk pengairan sawah.

Menyaksikan maraknya aktivitas penambangan Galian C di Kecamatan Pattalasang desa Timbusseng, lambat laun pasti akan terjadi petaka lingkungan. Korporate bermodal dan pihak-pihak “pemberi” ijin serampangan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan perlahan tapi pasti diprediksi secara kasat mata lambat laun akan terlihat.

Aspirasi berujung hampa

Berangkat dari keresahan tersebut, akhirnya pada tahun 2015 warga mencoba mencari jalan keluar dengan meminta bantuan dan dukungan dari pemerintah daerah agar tambang tersebut bisa dihentikan. Semua aspirasi berujung sia-sia, tanpa menghasilkan jawaban pasti alias nihil. Warga tidak punya cukup beking untuk menghentikan aktifitas tambang. Hingga warga mencoba melaporkan tambang ke Instansi Lingkungan Hidup terdekat, pada saat itu dari pihak berkompeten berkata, “bahwa mereka (tim pengawas) sudah turun melihat langsung di lapangan, akan tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak, katanya izin penambangan dikeluarkan oleh provinsi.” Kemudian di arahkan ke Dinas pertambangan, hasilnya sama saja. Seperti inikah bentuk otorisasi pemerintahan otonom.

Warga pernah menempuh jalan demontrasi, semua sudah disiapkan termasuk budget, kemudian niat tersebut diurungkan karena Perlawanan warga desa Timbuseng seringkali diselesaikan dengan kekerasan psikis dan intimidasi dari pihak yang pro ke tambang. Tidak dapat disangkal, operasional Tambang “mengunduh” begitu leluasa material tanah dari perut bumi menciptakan petaka. Akan berdampak pada kerusakan ekosistem. Kerusakan tersebut sifatnya permanent, sekali suatu daerah dibuka untuk tambang, maka daerah tersebut akan berpotensi menjadi rusak selamanya, apapun dalihnya. Kerusakan ekositem yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan: perubahan bentuk lahan dalam hal ini bukit bollangi, penurunan produktivitas tanah, terjadi erosi, hilangnya habitat flora fauna, perubahan iklim baik mikro maupun makro.

Saya sadar menulis permasalahan tambang sama saja mempertaruhkan nyawa, tapi tidak apa-apa, kalau tidak ada yang menulis siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Masih ingat kisah heroik “Salim Kancil” memberontak penambangan pasir illegal di Lumajang Jawa Timur yang dibekingi “korporasi” hingga berujung maut. Bukan rahasia umum betapa rapuhnya rakyat, ketika berhadapan dengan pemerintah. Karena pemerintahan kita ini adalah pemerintahan yang “korporatis”. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang perorang/perusahaan. Sindiran terhadap pemerintah kita, bahwa di indonesia ini pemerintahnya lebih dominan mengurusi dasi dan sepatu orang kaya, dari pada mengurusi “periuk nasi” orang miskin.

Kalaupun keadaan berbicara lain, mereka hanya bisa pasrah, mungkin yang “memiliki keadilan” yang akan berbicara, dan alam juga pasti akan berbicara dengan sendirinya, bahkan seorang Salim Kancil dan Tosan, aktivis Lingkungan yang dibunuh di Lumajang lantaran berani melawan kapitalisasi sumber daya alam adalah bukti bagaimana perjuangan terhadap nilai-nilai kebaikan sangatlah beresiko bahkan mengorbankan nyawa.

Semoga aksi mereka bisa di dengar. Meski, semua kita sangat sadar betapa suara kaum marjinal selalu tak pernah didengar oleh penguasa (sebagaimana Mahatma Gandhi katakan di awal tulisan ini).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun