Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Seladi, Polisi Pemalak Sampah

24 Mei 2016   08:57 Diperbarui: 24 Mei 2016   09:19 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.merdeka.com

Hari ini saya belajar lagi tentang kejujuran yang sesungguhnya. aparat ini kalau boleh dibilang seorang sosok yang cukup sederhan, ramah, cukup familiar di lingkungan kantor tempatnya mengabdi, kristalisasi keringat tak membuatnya mempan “uang sogok” tatkala bertugas mengatur lalu lintas maupun lepas dinas. Saya pribadi mengira awalnya dia adalah seorang aparat yang hanya mengejar popularitas semata, bisa disuap untuk diajak damai. Ternyata perkiraan tersebut salah.

Sosok inspiratif seperti Bripka Seladi, mengingatkan saya kepada seorang polisi jujur bernama Aiptu Jaelani anggota Satlantas Polres Gresik. Dan kedua-duanya merupakan segelintir aparat penegak hukum yang jujur dan memilih tidak menerima suap/sogokan untuk menambal beratnya hidup sebagai abdi negara.

Bagi yang melihat sosok ini sudah pasti disangkanya pemulung, padahal polisi yang memilih memulung sampah, ketimbang memalak pelanggar lalu-lintas atau proses pembuatan SIM. Seladi seorang polisi berpangkat Bripka bertugas di Kesatuan Polresta Malang Jawa Timur. Berbeda dengan polisi lain yang cenderung berpenampilan perlente, tajir berkendaraan dinas mewah tapi “terindikasi” hasil memalak, dia lebih memilih memulung sampah dari pada menerima uang sogok guna memperkaya diri. Satu hal yang patut diacungi jempol meski berprofesi sebagai polisi dia tidak jijik memungut barang bekas atau sampah  bernilai ekonomis.

Dalam sesi wawancara disalah satu stasiun televisi nasional, Seladi mengatakan “kenapa harus malu, ini rezeki halal” sembari memilah-milah sampah ditemani anak lelakinya. Mulai memungut sampah sejak 2006, kini memiliki usaha pengepulan sampah hasil dari pemulung lain. Untuk ukuran polisi pekerjaan seperti ini tentu sangat tidak lazim, tidak demikian dengan Seladi (58), keseharian rutinitas sebagai polisi lalu lintas Polres Malang berpangkat Brigadir Kepala (Bripka). Selepas tugas sebagai polisi, Seladi beralih profesi menjadi seorang pemulung sampah yang bertujuan untuk mencari tambahan penghasilan dengan cara yang halal.

Polisi memulung sampah kok malu, justru yang memalukan kesatuan adalah polisi yang terlibat narkoba, memalak, korupsi, terlibat skandal yang merugikan negara. Dia jauh dari kehidupan mewah, bahkan setiap hari Seladi naik sepeda onthel dicat warna putih untuk menuju tempat kerja.

Pekerjaan kotor tapi halal karena tuntutan hidup yang kian sulit. Utamanya berhasil membiayai pendidikan anak sekolah hingga perguruan tinggi, serta mempertahankan asap dapur tetap mengebul.

Gaji sebagai anggota berpangkat Bripka belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kian lama kian melonjak tajam. Belum lagi potongan cicilan hutang setiap bulan, membuatnya harus putar otak untuk mencari penghasilan tambahan tanpa merugikan orang lain.

Ketekunan Seladi dalam menekuni sebagai pemulung sampah membuahkan hasil. Melalui gaji sebagai petugas polisi yang minim, memulung mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga tingkat pendidikan tinggi.

Masih ingatkah kita dengan guyonan Alm. Abdurrahman Wahid tentang Polisi? Gusdur begitu ia akrab disapa pernah menyatakan jika di Indonesia hanya ada 3 Polisi yang jujur, pertama: Patung Polisi, Polisi Tidur dan Hoegeng.

Sekarang sepertinya guyonan tersebut sudah tidak relevan untuk saat ini, karena meski tidak banyak, mulai bermunculan Polisi yang memiliki budi juga kejujuran hati yang murni, Bripka Seladi salah satunya.

Citra buruk polisi selama ini beredar, setidaknya menjawab stigma negatif profesi polisi, yang menghina perlahan akan berbalik memujinya. Belajarlah dari Seladi. “Selama enam belas tahun tidak pernah menerima suap sepeserpun,” tegasnya. Memulung pekerjaan halal, lebih mulia dari pada menipu atau memalak, kerja ikhlas tidak mengeluh, menerima keadaan apa adanya.

Bripka seladi menyayangkan opini masyarakat yang kurang menghargai nilai kejujuran, beliau juga menyoroti praktek suap dalam proses pembuatan SIM marak terjadi di indonesia. Memang sangat sulit menemukan polisi inspiratif seperti Bripka Seladi, Aiptu Jaelani, Bripda Taufiq Hidayat yang tinggal di bekas kandang sapi di tengah sorotan mencuatnya kasus dugaan rekening mencurigakan seorang jenderal. Andai kehidupan saya seperti mereka, belum tentu sanggup melakoni hidup seperti itu, atau mungkin saja terjerumus ke dunia “percopetan.”

Baginya penghargaan terpenting adalah dari masyarakat, dengan tidak memberikan suap kepada petugas dalam bentuk apapun. Kejujuran bukan hanya dari Seladi, masyarakat juga harus membudayakan hidup jujur dalam kondisi apapun. Kejujuran sebenarnya sifat dasar manusia sekaligus suatu kehormatan. Jika seseorang sudah tidak memiliki kejujuran maka tidak pantas untuk dihormati. Masih ada ternyata polisi seperti ini. Angkat topi pak!!!

Mengutip kata Peppy The Explorer “Kejujuran adalah mata uang yang bisa digunakan dimanapun dan kapanpun.”

Makassar, 24 Mei 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun