[caption caption="Dokumen Literasi Kompasiana Club/Abbey"][/caption]Mengutip sejarhnya sebuah tempat prestise Taman Pintar berdiri atas inisiatif dan ide Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada tahun 1990-an, terutama di bidang teknologi informasi. Memang, perkembangan teknologi informasi di satu sisi berperan besar dalam menghantarkan manusia menuju era baru, sebuah era tanpa batas.
Memang diakui Taman Pintar Yogyakarta merupakan wahana rekreasi yang dikemas dengan konsep wisata edukasi, sehingga selain menyediakan wahana dan fasilitas bermain, juga menawarkan wahana belajar, terutama bagi anak-anak. Diberi nama Taman Pintar, karena memang diharapkan tempat ini menjadi wahana rekreasi sekaligus fasilitas untuk memperdalam pemahaman materi pendidikan yang diterima di sekolah, terutama berkaitan dengan perkembangan teknologi.
Sebagai abdi negara yang berkompeten di bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ini sebuah kebanggan sekaligus terharu keberadaan objek wisata Taman Pintar mengatas namakan wahana rujukan pendidikan dan teknologi skala internasional. Kontroversi berdirinya Taman Pintar merupakan “buah simalakamah” Institusi Lingkungan Hidup terkait “kredibilitas, kapabilitas, elektabilitas” yang akuntabel.
Keresahan disuarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, Pemuda-Pemudi Peduli Lingkungan tentu mengusik keaslian ekologi atas keberadaan wahana tersebut. Keberadaannya selain meningkatkan Pendapatan Asli daerah (PAD) tentu menguntungkan pihak-pihak sponsor. Patut disikapi secara positif, sehingga generasi muda “terlena” bahwa wahana belajar, terutama bagi anak-anak usia pra-sekolah dan siswa sekolah tersebut mengancam keselamatan lingkungan.
[caption caption="Dokumen Literasi Kompasiana Club/zona air"]
Ironi keberadaan Pemerintah daerah setempat tumbang oleh rayuan investor “menggiurkan” sehingga kegelisahan Penyeru Gerakan Penyelamatan Lingkungan dianggap “mimpi di siang bolong” klaim-klaim pecinta lingkungan bahwa Danone sebagai penghisap air terbesar dikolong jagad dianggap biasa. Sungguh sebuah duka berkepanjangan akan muslihat perusahaan “raksasa” bermerek Danone-Aqua. sehingga kurang mendapat respon dari “pemangku” kebijakan setempat seolah tuli akan keberadaan wahana “minteri” atau harus nunggu terjadi “bencana” baru kebakaran jenggot adu argumen“pembenaran”.
[caption caption="Dokumen Literasi Kompasiana Club/Abbey"]
Menyiksa sumberdaya alam secara membabi buta, tentu sangat mempercepat global warming. Pasalnya dampak yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan kian terasa nyata di tengah masyarakat. Untuk kondisi alam seperti ini Pemerintah setempat kok malah tutup telinga, tutup mata bahkan tutup pintu kebaikan. Ini sebuah berita tidak baik berdampak buruk bagi kelestarian ekologi. Apakah ini ada korelasinya terhadap keberadaan lokasi taman pintar Jogjakarta.
Tidak dapat disangkal, operasional Taman Pintar “mendownload” begitu leluasa material air dari perut bumi menciptakan petaka. Akan berdampak pada kerusakan ekosistem. Kerusakan tersebut sifatnya permanent, sekali suatu daerah dibuka untuk objek wisata seperti Taman Pintar maka daerah tersebut akan berpotensi menjadi rusak selamanya, apapun dalihnya. Kerusakan ekositem yang ditimbulkan dari aktivitas wisata berupa: perubahan bentang lahan, penurunan produktivitas tanah, terjadi erosi, hilangnya habitat flora fauna, perubahan iklim mikro.
Membaca maraknya aktivitas pengunjung objek wisata Taman Pintar di Jogjakarta, lambat laun pasti akan terjadi petaka lingkungan. Perusahaan besar level Danone dan pihak-pihak “pemberi” ijin serampangan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan perlahan tapi pasti diprediksi secara kasat mata akan terlihat.
Ini bukan sesuatu yang sentimen melainkan hak kesenjangan sumber daya air, tolong dengar suara kami (Aktivis Lingkugan) lalu sampaikan“Dengan merusak alam sekitar berarti kita juga merusak diri sendiri, karena manusia adalah bagian dari alam”.