Dampak negatif korupsi memang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar, suap adalah tindakan seorang pejabat publik, politisi dan pegawai negeri sipil serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam tindakan tidak wajar dan ilegal menyalahgunakan publik kerpercayaan kewenangan mereka untuk mendapatkan unilateral.
Bahkan sekarang korupsi di kalangan pemerintahan merupakan hal tabu, tumbuh dalam hirarki dan menyisir pelosok daerah terpencil.....wadeh!!! bahkan korupsi sekarang ini diberbagai kalangan kaum kapitalis bergandengan tangan dengan kolusi yang melibatkan kalangan pejabat pemerintah dan pengusaha kaya untuk mendapatkan keuntungan bersama...edan tenan bro!!!
Saya tidak akan membuang-buang energi untuk mendefinisikan KORUPSI terserah mereka mau berbuat apa, masalah buat loh!!! Yang jelas korupsi identik dengan simbol binatang pengerat berupa TIKUS sehingga sangat sulit untuk diberangus, sama sulitnya memberangus “istana” tikus, dibasmi satu seribu kali lipat tumbuhnya begitu seterusnya selama “birokrat” di kendalikan oleh manusia “TIKUS.”
Hewan pengerat satu ini sangat klop bukan jurgen klop (pelatih Liverpool) lo, sebagai simbol seorang pelaku tindak pidana korupsi, sesungguhnya!!! Munculnya hasrat berbuat Korup adalah jiwa manusianya bukan standar penghasikannya. Pemerintahan kita sering “ceroboh” ketika tersangka sanggup membayar, maka urusan lancar apatah lagi memasuki masa-masa pensiun, selalu saja ada “jasa anggaran fikitif” oknum tertentu sebelum berhenti. Besar kecilnya gaji tidak akan pernah cukup, tetap tergantung “manusia.”
Mengapa korupsi nyaris “mustahil” dibumi hanguskan? Pertanyaan besar ini selalu muncul. Setiap kali lembaga pemerintah membentuk institusi untuk memerangi korupsi, justru pelakunya dari kalangan sendiri, sehingga meenimbulkan keraguan publik. Upaya memberantas korupsi bersaing dengan upaya korupsi itu sendiri, mengapa memberantas penyakit itu demikian sulit?. Selain merugikan petani TIKUS sangat merugikan orang atau negara yang dirugikan hingga puluhan miliard. Modus yang dilakukan koruptor dalam menyusun strategi rata-rata secara sembunyi-sembunyi, sedikit nakal mengadali anggaran demi kepentingan pribadi maupun golongan.
Tidak mengherankan stigma negatif erat melekat hingga hanyat dikandung badan, orang akan tertawa terbahak-bahak bahkan hingga kencing di celana jika seseorang mampu merubah stigma negatif menjadi positif, mungkinkah? Berhayal sih boleh-boleh saja menjadikan koruptor itu negatif berubah positif, rasanya impossible, maka tidak heran koruptor selalu mendapat nilai negatif di mata masyarakat sekalipun dia seorang HAJI. Astagfirullah!!!!
Saya sering bertanya-tanya dalam hati, dinamakan korupsi selalu berupa nominal material, yang mengakibatkan kerugian?....apakah korupsi waktu bisa dikategorikan tindak pidana korupsi, karena pelaku korupsi waktu telah menjaminkan tunjangannya di potong atau pulang terlambat untuk menutupi/mencukupi kemoloran waktu kerja?...biarlah Tuhan dan waktu yang menjawabnya.
Dilematis, merupakan hal yang amat sangat merisaukan bagi saya sebagai aparatur sipil negara, akan tetek bengek seperti itu. Dimana soal pertanggungjawaban kegiatan saja terkadang niat kita membantu malah berakhir “sakitnya tuh disini!!” meskipun tidak signifikan kerugiannya ujung-ujungnya mendapat honor juga sih!!!, untuk urusan nominal tidak munafiklah semua pegawai butuh. Yaa tetap saja ketidakjujuran terlanjur menghinggapi akhlak dan perasaan sebagai aparatur sipil negara. Masalah ini selalu mendominasi kebijakan menyiasati penyerapan anggaran semaksimal mungkin, demi terpenuhi ouput yang ditargetkan.
Korupsi dan gerbongnya (kolusi, nepotisme, diskriminasi tersembunyi, kongkalikong, sogok, suap, pemerasan dan penipuan) sudah sedemikian hebat. Sehingga tidak satu orang -–termasuk para birokrat yang jujur dan bersih—sanggup memberantasnya. Apa yang bisa kita perbuat? Padahal semua orang setuju “ babat habis tikus-tikus koruptor.” Memang persoalannya tidak bisa diatasi dengan statemen belaka. Stigma negatif korupsi sekurang-kurangnya menguntungkan beberapa beberapa orang yang menduduki kekuasaan, membuatnya menjadi suatu masalah yang sulit diatasi. Keberadaan lembaga independen seperti KPK yang tadinya secercah jalan keluar, sengaja dibuat tepar. Ibarat virus, korupsi senantiasa hadir diantara kita, tetapi virus akut begitu menyedihkan ini tidak membuat kita jera berusaha mengurangi penyakit, demikian juga seharusnya fakta tersebut tidak boleh melumpuhkan nyali kita untuk membasmi perkembangbiakan korupsi. Banyak sedikitnya dan berbagai macam tingkah laku tidak halal itu tentu sangat merugikan negara.
Fenomena korupsi yang sering menjerat berbagai karakter pejabat publik tentu “mengindikasikan” bahwa stigma negatif terhadap koruptor pantas tersemat, dimana belakangan mencuat para penghuni “hotel prodeo” rata-rata para pemangku kepentingan. Bukan tukang becak, bukan pencopet, perampok bahkan petani. Tentu mereka pada awalnya manusia baik-baik sebelum mendapatkan amanah. Nah...setelah menjalankan ritual sumpah jabatan yang telah “diincar” sebelumnya, bermula dari situlah fikiran-fikiran kotor bertelor.
Perlahan tapi pasti melalui jabatannya, terjadilah penyalahgunaan wewenang dengan demikian “stigma negatif” kian terpampang nyata, padahal apa sih nikmatnya mengeruk pundi-pundi dari hasil nyolong!!! Tentu hanya kesia-siaan belaka bahkan tidak ada relevansinya. Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga. Sepandai-pandainya menyimpan bangkai akhirnya tercium juga. Selama syair “kancil mencuri timun” belum di aransement maka negeri kita syurganya para koruptor. Kata kuncinya dibutuhkan cukup satu orang yang berani memluai! Persoalannya, di negara kita yang jumlah penduduknya 200 juta jiwa ini, adakah sosok berani itu?