Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gara-gara Jadi Tim Verifikator e-Pupns Eh, Kena "Teror"

14 November 2015   16:55 Diperbarui: 10 Desember 2015   12:44 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman pribadi sebagai tim verifikator e-pupns

Bagai petir di siang bolong sekonyonyong-konyong koder sosok tegap berumur mendatangiku dengan wajah merah padam, tak puas atas kinerja tim verifikator e-pupns, saya salah satu korban kediktatoran.

Dengan nada tinggi melebihi vocal Daniel Sahuleka. Bagai meneer-meneer belanda ngotot tidak mau menerima pendapat orang lain. Inilah realita dampak dari kekejaman e-pupns milik Badan Kepegawaian Negara. Mengapa hal ini terjadi? Berikut prahara e-pupns bikin hati panas. Awalnya sih, lancar-lancar saja plus minus biasa di temui tapi tak seribet ini dalam menyelamatkan kawan-kawan dari sanksi “pensiun dini” melalui verifikasi berkas pupns, satu persatu lancar diperiksa, hingga giliran berkas milik atasan yang tidak disebut namanya demi profesionalitas (2/11).

Baru kali ini saya dibikin depresi oleh e-pupns, andai pensiun dini direalisasikan dengan pesangon sebesar Rp. 1,5 Miliar konsisten diterapkan, tanpa fikir panjang mengajukan pensiun dini, tidak perlu ribet-ribet berdebat ngurusin e-pupns sampai-sampai mendapat intimidasi otorisasi yang kurang tahu terimakasih.

Petunjuk dari kepegawaian pusat setiap berkas ijasah sekolah mulai tingkat dasar hingga magister harus di cap basah oleh pimpinan kantor, kecuali fotocopy ijasah yang digunakan mendaftar CPNS harus di ligalisir sekolah atau Dinas Pendidikan Kota setempat. Begitu kami verifikasi berkas beliau melalui aplikasi e-pupns, berkas kami tolak karena dalam penginputan tidak sesuai persyaratan dari bagian kepegawaian.

Tibalah insiden memalukan tersebut, “beliau” datang, naik pitam hingga adu mulut tak terelakkan, beliau adalah “panutan” dengan argumentasi “beliau” tidak terima ijasah pendidikannya di cap basah/pengesahan dari kepala kantor, kecuali dari sekolah atau profesor tempat beliau menimba ilmu, sebagai panutan nampaknya beliau ini “gila pangkat dan jabatan” tanpa tedeng aling-aling bak “serdadu” meneror kinerja tim verifikator e-pupns dibawah naungan Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, padahal kami sudah kerja se-maksimal mungkin, toh manusia tidak ada yang sempurna, hanya TUHAN maha sempurna.

Sadis betul keangkuhan “panutan” satu ini, disini saya mencium aroma kemunafikan atas kekerdilan hati tidak lapang dada mengakui syarat e-pupns, lah..wong...kepala kantor saja masih mau menerima kondisi seperti ini???

Saya tidak gentar menghadapi pimpinan otoriter, karena dia juga manusia, sama-sama makan nasi. Dia bukan TUHAN yang selalu benar, sedangkan bawahan bukanlah kerbau, di peras tenaganya, di cambuk demi memenuhi hasrat kepala batu, no... no....no....justru saya malu terhadap diri saya sendiri atas “ketidak puasan” atas alasan kesehatan sehingga tidak menjalani kinerja secara maksimal, bukan karena intervensi atasan, karena masih banyak orang-orang berintelektual diatas rata-rata dengan pendidikan pas-pasan, pekerja keras, serabutan, justru kurang beruntung.

Sebuah keterpaksaan finansial kudu dilakoni sebagai abdi negara, kita kembalikan ke qhitoh bahwa dalamnya laut masih bisa kita ukur, dalam hati manusia siapa yang tahu, hari ini argumentasinya A besok pendapatnya bisa berubah B atau C, urusan uang jajan mendominasi ke permukaan pada setiap permasalahan internal perkantoran, tidak diragukan lagi kekuasaannya melebihi TUHAN, alangkah naifnya jika saya katakan kerja untuk kinerja. Kerja untuk mencari uang sedangkan kinerja hanyalah bumbu penyedap rasa Standar Kinerja Pegawai (SKP).

Sebuah dilema berpenghasilan terperangkap dalam dunia “birokrat” terjebak perselisihan manakala kerja tidak ternilai kinerja tanpa rekapitulasi manifest penerbangan perjalanan dinas tidak terserap maksimal. Tidak hanya berbahaya bagi keamanan negara, tapi juga keharmonisan staf/bawahan di tempat kerja. Memang terkadang pemegang kebijakan belum sepenuhnya bijak meskipun berusaha bijak.

Birokrasi merupakan kapitalis resmi yang memungkinkah ada faktor likes or not this like, asal BOSS senang, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, menjadi pemandangan lumrah, agar mudah menjalankan otorisisasi. ckckck!!! sungguh luar biasa hebatnya “diktator” patrimonial kolonial zaman sekarang.

Cukup diakui setiap atasan memiliki karakter berbeda, diantaranya di sukai dan tidak di sukai, tidak ada relevansinya atas karakter pemimpin. Tidak ada relevansinya mereka adalah jalan agar dapat maju, tanpa dukungan dari “mereka,” sebagai bawahan diam di tempat. Bagi saya masa BODOH semua itu, asal badan sehat wal afiat tak ternilai nominalnya, emosi meledak-ledak dan kemarahan tabu di pemerintahan.

Ketika situasi ini kian merebak, tentunya akan merusak kredibilitas citra sebuah instansi di pertaruhkan, hanya tersita urusan perut, mengalahkan akal sehat sebagai “panutan.” Sebuah ajang adu kekuatan para eselon mengendalikan bawahan semena-mena tanpa melihat latar belakang sebuah peristiwa.

Peristiwa tidak biasa ini sering saya dapati ketika terjadi adu argumentasi sesama pegawai atau bahkan level struktural saling bersinggungan saat rapat memutuskan win-win solution.

Terbawa perasan hingga merusak jalinan kedekatan atasan bawahan dengan cara menegangkan, tanpa terkontrol. Satu atap tapi tak saling tatap, satu bidang tapi saling dendam, luntur sudah kenyamanan di tempat kerja, hanya dusta “bianglala” menerawang perebutan tandatangan hitam diatas putih. feodalisme dimaknai dengan orang yang memiliki “intimidasi” jabatan, maksudnya, arogansi muncul karena jabatan. sering kali kita jumpai dibeberapa di tempat kita kerja.

Saya juga salah satu anak manusia yang terkadung nyemplung mengabdi hidup ditengah pemerintahan yang mulai disusupi oleh pemimpin karakter ortodoks-feodalis. Saking dahsyatnya kata feodalisme “sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan besar kepada kaum bangsawan; sistem sosial yang mengagungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagungkan prestasi kerja,” sehingga memusnahkan sistem pemerintahan “HUMANIST” melupakan akal sehat, tragis,!!! betul staf dibawah kepemimpinan feodalis ortodok ini.

Ini bisa kita lihat dari rata-rata pemerintahan saat ini. Sistem pemerintahan yang ada sekarang ini jauh dari kata “Baik”. Bahkan bisa dikatakan “terlalu kotor” oleh orang-orang berotak “tumpul”. Diantara banyaknya karyawan/pegawai hanya ada “satu atau dua” orang yang benar-benar melakukan kerjaannya, selebihnya “koar-koar” doang.

Walau atasan diberi “kebebabasan” membentak usai pelantikan, bawahan mungkin tidak tahu kalau di belakang barisan mereka, para atasan lain cekikikan, sialan!!!

Yaa ma’af menurut saya, bukan masalah ini dibawah siapa, itu kewenangan siapa, tetapi menurut saya, substansinya bukan ini itu dibawah siapa, tetapi apakah ini itu lebih efektif, lebih efisien, lebih profesional kalau ini itu dikelola oleh siapa dan dibawah apa. Kita selalu bergelut dengan kewenangan yang ujung-ujungnya juga menyangkut ANGGARAN. Tetapi marilah kita sama-sama memandang bersama dengan melihat secara substansi, nilai dan sejarah keberadaan sebuah lembaga, kebutuhan yang akan di manfaatkan oleh negara, pengelolaan yang lebih terarah. Kalau ada kekurangan, itulah tanggungjawab kita bersama untuk mencarikan solusi. Bukan dengan marah-marah membabi buta, tentu hal itu akan menambah masalah.

Haruskah kita beberkan semua kelemahan lembaga kita, yang hanya akan merusak muka sendiri? Tanpa bisa mengatasi beratnya kehidupan yang penuh dengan kesinisan “senioritas” birokrasi. Begundal cowboy bersafari bukanlah sarana yang tepat mempertahankan pendopo premanisme. Besar peranan networking hingga kita bisa diterima oleh semua substansi. Hanya kebetulan mereka “begundal” cowboy pada posisi yang tepat, waktu yang tepat, manusianya yang tidak tepat.

Ketika tempat kerja kita kehilangan aura positif, maka terjadilah “perang dingin” pencetus sifat iri, dengki, serakah. Kantor adalah lembaga formal yang isinya manusia-manusia berpendidikan “kenyang makan bangku” sekolah, bahkan ada yang nambah sekolahnya. Pertanyaannya? Tambah pintar atau tambah BODOH!!! title segudang tapi miskin moralitas.

Mengakibatkan kerakusan organisasi “patrimonial” masa kini, parah, kolot dan arogan merupakan kombinasi menyeramkan, ibarat orang mau “berak” ketika sedang asyik “berkuat alias ngeden” di gertak dalam tekanan sehingga tidak mempunyai asumsi memadai. Entah apa yang membutakan hatinurani para pemangku kekuasaan seperti ini, atau jangan-jangan karena sudah bau tanah, maunya selalu benar, tidak mau mendengar pendapat orang lain, seolah-olah seperti nabi...hueekkkss!!!

Tanpa sadar pemangku kebijakan juga manusia biasa, tak luput dari dosa, apa yang di kangenin dari “pejabat” seperti ini, output hanya perjalanan dinas tanpa kabar berita jelas, inputnya “koar-koar” diatas mimbar lalu bubar. Karut marutnya moral birokrasi ini, tak terjadi karena ulah bawahan semata, tapi karena tetesan dosa dari “yang diatas,” bila “staf/bawahan” rusak jangan mencari-cari kesalahan “staf/bawahan” sendiri, tapi percayalah kesalahan itu datangnya dari “yang diatas,” tebar pesona bukasn solusi yang dapat dijadikan patokan.

Meskipun dimaksudkan untuk selalu menghormat kepada orang tua atau pemimpin, namun tidak membutakan diri untuk menilai perbuatan orang tua dan pemimpin. Karena yang tua dan pemimpin juga memiliki kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatan yang benar, baik dan pener. Justru yang tua dan pemimpin dituntut "lebih" dalam mengaktualisasikan budi pekerti luhur.

Orang tua yang tidak memiliki budi pekerti yang luhur bahasa jawa disebut tuwa tuwas lir sepah samun (Orang tua yang tidak ada guna dan makna sehingga tidak pantas di tauladani). Pemimpin yang tidak memiliki budi luhur bukan pemimpin. Luar biasa bukan berarti berkuasa, luar biasa itu KERJA keras berusaha menjadi yang terbaik tanpa harus menyakiti satu sama lain, seperti perjuangan pahlawan-pahlawan yang telah mendahuli kita, bukan malah cari penyakit.

Hingga saat ini saya sebagai orang tua kerja untuk mencari UANG tidak untuk mendapat “hujatan” dari atasan yang sombong, koreksi masih bisa diterima akal sehat. Itu sama halnya dimarahi orang tua sendiri, kalau kerja hanya mendapat “hujatan” untuk apa jauh-jauh merantau mencari pekerjaan, HANYA KARENA IJASAH-IJASAH SEKOLAH “MENTOR” MENOLAK PENGESAHAN CAP BASAH INSTANSI, verifikator e-pupns mendapatkan “intervensi sepihak” padahal sebagai bawahan hanya mengikuti perintah atasan, meski bertentangan dengan hatinurani apalah daya seorang staf/bawahan, sebuah kepribadian yang kekanak-kanakan/childish karena hanya seorang anak kecil yang berkepribadian mau menang sendiri tak mau diberi saran, nasihat, walau berulang kali membuat keputusan yang merugikan.

Mungkin banyak dari pembaca tidak mempercayai tulisan ini/HOAX bisa terjadi, terserah dech.....believe it or not up to you beibeh....tapi semua tulisan diatas sebagaian besar adalah pengalaman pribadi saya sebagai tim verifikator e-pupns. Kesimpulannya gara-gara jadi tim verifikator e-pupns kena teror karakter pimpinan “arogan” tak terlupakan.

Hidup memang harus ada perubahan tidak ada yang salah dimasa lalu dan perubahan selalu memberikan kebaikan untuk masa depan.

Makassar, 14 November 2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun