Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gara-gara Jadi Tim Verifikator e-Pupns Eh, Kena "Teror"

14 November 2015   16:55 Diperbarui: 10 Desember 2015   12:44 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukup diakui setiap atasan memiliki karakter berbeda, diantaranya di sukai dan tidak di sukai, tidak ada relevansinya atas karakter pemimpin. Tidak ada relevansinya mereka adalah jalan agar dapat maju, tanpa dukungan dari “mereka,” sebagai bawahan diam di tempat. Bagi saya masa BODOH semua itu, asal badan sehat wal afiat tak ternilai nominalnya, emosi meledak-ledak dan kemarahan tabu di pemerintahan.

Ketika situasi ini kian merebak, tentunya akan merusak kredibilitas citra sebuah instansi di pertaruhkan, hanya tersita urusan perut, mengalahkan akal sehat sebagai “panutan.” Sebuah ajang adu kekuatan para eselon mengendalikan bawahan semena-mena tanpa melihat latar belakang sebuah peristiwa.

Peristiwa tidak biasa ini sering saya dapati ketika terjadi adu argumentasi sesama pegawai atau bahkan level struktural saling bersinggungan saat rapat memutuskan win-win solution.

Terbawa perasan hingga merusak jalinan kedekatan atasan bawahan dengan cara menegangkan, tanpa terkontrol. Satu atap tapi tak saling tatap, satu bidang tapi saling dendam, luntur sudah kenyamanan di tempat kerja, hanya dusta “bianglala” menerawang perebutan tandatangan hitam diatas putih. feodalisme dimaknai dengan orang yang memiliki “intimidasi” jabatan, maksudnya, arogansi muncul karena jabatan. sering kali kita jumpai dibeberapa di tempat kita kerja.

Saya juga salah satu anak manusia yang terkadung nyemplung mengabdi hidup ditengah pemerintahan yang mulai disusupi oleh pemimpin karakter ortodoks-feodalis. Saking dahsyatnya kata feodalisme “sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan besar kepada kaum bangsawan; sistem sosial yang mengagungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagungkan prestasi kerja,” sehingga memusnahkan sistem pemerintahan “HUMANIST” melupakan akal sehat, tragis,!!! betul staf dibawah kepemimpinan feodalis ortodok ini.

Ini bisa kita lihat dari rata-rata pemerintahan saat ini. Sistem pemerintahan yang ada sekarang ini jauh dari kata “Baik”. Bahkan bisa dikatakan “terlalu kotor” oleh orang-orang berotak “tumpul”. Diantara banyaknya karyawan/pegawai hanya ada “satu atau dua” orang yang benar-benar melakukan kerjaannya, selebihnya “koar-koar” doang.

Walau atasan diberi “kebebabasan” membentak usai pelantikan, bawahan mungkin tidak tahu kalau di belakang barisan mereka, para atasan lain cekikikan, sialan!!!

Yaa ma’af menurut saya, bukan masalah ini dibawah siapa, itu kewenangan siapa, tetapi menurut saya, substansinya bukan ini itu dibawah siapa, tetapi apakah ini itu lebih efektif, lebih efisien, lebih profesional kalau ini itu dikelola oleh siapa dan dibawah apa. Kita selalu bergelut dengan kewenangan yang ujung-ujungnya juga menyangkut ANGGARAN. Tetapi marilah kita sama-sama memandang bersama dengan melihat secara substansi, nilai dan sejarah keberadaan sebuah lembaga, kebutuhan yang akan di manfaatkan oleh negara, pengelolaan yang lebih terarah. Kalau ada kekurangan, itulah tanggungjawab kita bersama untuk mencarikan solusi. Bukan dengan marah-marah membabi buta, tentu hal itu akan menambah masalah.

Haruskah kita beberkan semua kelemahan lembaga kita, yang hanya akan merusak muka sendiri? Tanpa bisa mengatasi beratnya kehidupan yang penuh dengan kesinisan “senioritas” birokrasi. Begundal cowboy bersafari bukanlah sarana yang tepat mempertahankan pendopo premanisme. Besar peranan networking hingga kita bisa diterima oleh semua substansi. Hanya kebetulan mereka “begundal” cowboy pada posisi yang tepat, waktu yang tepat, manusianya yang tidak tepat.

Ketika tempat kerja kita kehilangan aura positif, maka terjadilah “perang dingin” pencetus sifat iri, dengki, serakah. Kantor adalah lembaga formal yang isinya manusia-manusia berpendidikan “kenyang makan bangku” sekolah, bahkan ada yang nambah sekolahnya. Pertanyaannya? Tambah pintar atau tambah BODOH!!! title segudang tapi miskin moralitas.

Mengakibatkan kerakusan organisasi “patrimonial” masa kini, parah, kolot dan arogan merupakan kombinasi menyeramkan, ibarat orang mau “berak” ketika sedang asyik “berkuat alias ngeden” di gertak dalam tekanan sehingga tidak mempunyai asumsi memadai. Entah apa yang membutakan hatinurani para pemangku kekuasaan seperti ini, atau jangan-jangan karena sudah bau tanah, maunya selalu benar, tidak mau mendengar pendapat orang lain, seolah-olah seperti nabi...hueekkkss!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun