Salim Kancil aktivis Lingkungan Hidup terkenal vocal menolak melawan penambang pasir “ilegal” di Lumajang Jawa Timur. Konflik yang terjadi di Lumajang bersifat laten. Sejak lama masyarakat terlibat pro dan kontra tambang pasir sehingga saling benturan di lapangan.
Salim kancil dan Tosan memang menentang habi-habisan dengan adanya praktek penambangan pasir “liar” di daerahnya, mengakibatkan kerusakan lingkungan dan habitat sekitarnya, serta merugikan negara miliaran rupiah.
Perlawanan aktivis Lingkungan seperti Salim Kancil dan Tosan mendapatkan perlawanan “sadis” dari “bromocorah” bayaran terkeji tahun ini terhadap HAM setelah aktivis HAM MUNIR. Parahnya, penganiayaan terhadap Salim Kancil oleh 40-an orang dilakukan telanjang di depan warga. Kekejian yang mirip tragedi 1965. Sejarah paling gelap negeri ini yang membuat nyawa seakan tidak ada harganya. Memang korban tewas dalam penolakan tambang pasir ini tidak sebanyak tragedi 1965, namun vulgarnya penganiayaan, ketakutan masyarakat dan tidak berdayanya negara, membuat ke sadisan dua kasus ini mirip.
Salim diseret dari rumahnya lalu disiksa, disetrum, digergaji dibagian lehernya dan juga dipukul dengan benda tumpul dan juga cangkul. Kekejian ini kembali teringat gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G 30 S/PKI), menginjak usia ke 50 Tahun, akhirnya menemui ajalnya setelah dipukul menggunakan batu dibagian kepalanya dan sekujur tubuhnya.
Sudah tahu tambang-tambang pasir ini “ilegal” , telah mem "begal" lahan pertanian di pesisir pantai. Tapi oleh pemerintah dan aparat setempat dibiarkan. Tidak ada tindakan tegas".
"Biasanya, penambangan ilegal ini dikuasai oleh oknum petinggi desa setempat dan mengkoordinasikan warga yang berpihak pada penambang pasir".
Siapa aktor "intelektual" dibalik lenyapnya nyawa salim kancil? Entahlah yang jelas hingga hebohnya berita "tambang pasir liar” belum ada yang berani mengungkap dibalik skenario besar tewasnya aktivis LINGKUNGAN HIDUP “Si Kancil”, dia terkenal orang yang lincah, tidak kenal takut dan ceplas-ceplos gaya bicaranya, makanya label “kancil” tersemat dibelakang namanya.
Dari informasi berbagai media online, penolakan warga atas penambangan pasir liar di Lumajang ini sudah berlangsung lama. Penambangan pasir liar juga terjadi di beberapa daerah di Lumajang, seperti di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun.
Perlindungan terhadap warga yang ingin mempertahankan lingkungan dan kehidupannya, masih belum terjamin, “Kekerasan dan tewasnya Salim adalah salah satu bukti otentik”. Pertanda belum solidnya lembaga yang berkecimpung di Lingkungan Hidup, penggabungan “dualisme” kementerian belum sepenuhnya padu, syarat akan muatan politik individualistis pemangku jabatan lokal.
Peran mereka yang demikian sentral dalam setiap fase kehidupan, begitu otoriter, hingga mengintimidasi hak masyarakat setempat dalam memperoleh Lingkungan Hidup yang baik dan sehat. Membuat WESTERLING tersenyum dari liang lahat di abad kejayaan sang TIKUS. “Kalau hanya senyum yang engkau berikan Westerling pun tersenyum” kata bang iwan fals.
Mudah-mudahan “HUKUM” tanah air betul-betul memihak kepada kaum marjinal, menuntut agar pemerintah dan aparat penegak hukum profesional mengusut tuntas kasus tersebut. Termasuk mampu mengatasi kongkalikong kaum elite, sehingga mampu mengubah stigma negatif “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” jangan seperti burung onta yang menyembunyikan kepala di pasir agar terhindar dari mara bahaya.
Berlarut-larutnya proses penangkapan “dalang” di balik pembantaian sadis ke dua aktivis Lingkungan Hidup akan menurunkan kualitas lingkungan hidup di Lumajang Jawa Timur ajur mumur (hancur lebur).
Kita mungkin bisa belajar banyak dari sosok Salim Kancil CS, buruh tani juga Aktivis Lingkungan Hidup, gagah berani menentang "KAPITALIS" perusak Lingkungan, tanpa banyak cakap, tanpa banyak menggelar rapat, tanpa banyak teori atau kompromi langsung beraksi menyelamatkan LINGKUNGAN hingga akhir menutup mata. Nah loh!!! Siapkan nyali anda seperti “Salim Kancil” yang berkeinginan membentuk LSM Lingkungan Hidup, secara profesional jangan LSM asal-asalan diatas proposal.
Saya belum bisa memberikan argumen alternatif perusakan lingkungan yang canggih dan detil. Tapi saya percaya bahwa sebelum retorika penambangan pasir liar mengancam keselamatan masyarakat, masyarakat harus tahu hak-hak mereka: tanah, bumi, air, udara, adalah milik mereka, di bawah kaki mereka. Jika kelak dirampas atas nama “pendapatan asli daerah”, saya tak tahu lagi dimana nalar dan nurani untuk memaknai ‘pembantaian Salim Kancil’.
Mungkin dari uang ucapan "terimakasih" yang diselipkan oleh para korporat ke kantong sebagian para politisi, pejabat, birokrat lokal dan aktivis. Demi hidup (nyaman) sekali seumur hidup, sesudah itu tidak hidup (mati).
Makassar, 01 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H