Mohon tunggu...
Ay Mahening
Ay Mahening Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Puisi adlh hal yg paling suka aku baca...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Setia

7 November 2016   12:38 Diperbarui: 7 November 2016   12:50 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangan berlama-lama menatap senja. Karena engkau akan tergoda, senja hanya menghadirkan keindahan sesaat. Sebelum akhirnya ia pergi meninggalkanmu dan menghilang di garis cakrawala" ibu kembali mengingatkan dirinya.

"Tapi, aku menyukainya ibu!" jawab gadis itu.

Perempuan tua itu menyentuh dagu anaknya yang telah beranjak remaja. Seulas senyum yang ia berikan hanyalah guratan garis tipis di kedua pipinya.

"Senja?" tanya ibunya.

Gadis itu menganggukkan kepala. Namun resah terpancar jelas di kedua matanya saat ibu kembali tersenyum dan mengajaknya berdiri di ambang jendela.

"Lihatlah ke atas sana. Betapa gagahnya bulan saat ia bertahta di antara taburan bintang..." ujar ibunya.

Gadis itu tepekur menatap langit. Kedua matanya berbinar. Sesekali mengerjap saat bintang tampak berkerlip.

"Apakah engkau menyukainya?" tanya ibunya lagi dengan kedua garis selalu nampak tergurat di pipinya, setiap ia mengulas senyum.

Sekali lagi ia mengangguk. Meski tak menangkap dengan jelas makna yang tersirat.

"Suatu saat engkau akan mengerti, anakku!" ujar ibu pelan sambil mengusap kepalanya dengan lembut.

*

 "Andin maaf, ya. Aku nggak bisa nganter kamu pulang" ujar Bayu pada gadis itu saat mereka berdiri di depan gerbang sekolah.

Bayu melepaskan genggamannya pada tangan gadis itu. Sedangkan Andin tak bisa berbuat banyak ketika Bayu mulai berjalan memunggunginya dan menghilang di parkiran sekolah.

Andin merasakan perubahan pada diri Bayu akhir-akhir ini. Baik sikap maupun perhatiannya dan ini bukan kali pertama Bayu membatalkan janjinya, serta tak mengantarnya pulang ke rumah. Seperti yang biasa cowok itu lakukan.

Gadis itu menghela nafas sebentar. Lalu mendaratkan pantatnya duduk di atas pasir yang lembut. Entah kenapa ia selalu merasa bisa membagi resah pada pantai dan baru pulang ke rumah setelah matahari tenggelam di garis cakrawala.

Cinta....

Perasaan itulah yang selalu mengalahkan nalar dan logikanya. Karena apa pun alasan yang diberikan oleh Bayu setiap membatalkan janjinya, selalu bisa diterimanya tanpa sedikit protes.

Senja mulai bergulir. Semburat merah di langit perlahan memudar dan berganti menjadi jelaga. Pekat!

Gadis itu berdiri dari duduknya dan mulai berjalan menyusuri garis pantai. Mencoba mengumpulkan setiap serpihan kenangan yang mungkin terserak di atas pasir yang mulai basah. Namun tetap saja perasaan cintanya kepada bayu, telah membutakan mata hatinya.

"Andin. Lihatlah matahari itu!" suara Bayu terngiang saat mereka biasa menghabiskan waktu berdua di pinggir pantai.

"Cintaku tak seperti matahari di kala senja, yang hanya menghadirkan keindahan sesaat. Cintaku seperti matahari yang baru terbit dan menerangi harimu hingga malam tiba." kembali terngiang perkataan Bayu kepadanya.

Selendang malam ternyata lebih indah dan gadis itu tidak pernah tahu. Pada langkah kaki yang semakin jauh, mata dia menangkap sosok bayangan yang sangat dia kenal dengan baik. Bayangan itu bagai pedang yang mencabik tiap sendi nadi.

Panorama pantai tak lagi menghadirkan keindahan, ketika ia melihat dengan jelas bayangan siapa itu. Kerasnya angin yang berhembus dirasakannya seperti angin topan yang meluluhlantakkan cinta yang dibangunnya.

Ingin rasanya ia berlari ke tengah pantai dan membiarkan dirinya tergulung ombak dan tenggelam bersama senja. Atau jika saat ini ia tengah berada di tepi jurang, mungkin Andin akan melompat ke dasarnya yang paling dalam. Agar tak melihat semua itu.

Andin tak lagi sanggup membayangkan semua kemungkinan yang bisa ia lakukan. Hanya untuk menterjemahkan luka di hatinya. Gadis itu berlari sekuat tenaga. Meski hamparan pasir seperti menarik dan membenamkan kakinya. Pikirannya hanya satu. Pulang dan menangis di pelukan ibu.

*

Suara tangisnya menyeruak di ruangan kamar yang berukuran 2 x 3 meter. Sementara air mata membasahi bantal saat ia membenamkan wajahnya disana.

Perlahan ibu berjalan mendekatinya lalu duduk di sisi tempat tidur. Usapan lembut tangan ibu di punggungnya, meskipun sedikit, namun cukup mengobati luka yang telah menggores hatinya.

"Sekarang ibu yakin, engkau telah mengerti. Tak baik mencintai secara berlebihan karena tak ada yang abadi di dunia ini. Mungkin engkau mencintai embun yang tampak berkilauan di kelopak bunga, karena engkau belum melihat indahnya matahari yang baru terbit. Mungkin saja engkau terperdaya oleh indahnya senja, padahal malam selalu tampak indah dengan cahaya bulan dan kerlip bintangnya" Suara ibu meredam isaknya.

"Tapi Bayu selalu mengatakan kalau ia hanya mencintaiku, ibu!" keluh gadis itu.

"Lalu kenapa engkau menangis?" tanya ibu.

"Aku melihat Bayu memeluk Indah dengan mesra, ibu" jawab gadis itu di antara isaknya.

"Itulah yang ibu siratkan, anakku. Seperti waktu yang terus berputar dan hari yang akan berganti. Karena keindahan senja dan langit yang bertabur bintang akan lenyap begitu saja, tatkala hujan membasahi bumi" selalu saja setiap perkataan ibu hanya menyiratkan sesuatu.

Gadis itu bangkit dari rebahnya. Membiarkan ibu mengusap sisa air mata yang menggenang di kedua sudut matanya.

"Jadi apa yang harus aku lakukan, ibu?" tanyanya kemudian.

"Cintailah seseorang secara sederhana anakku. Jika engkau memilikinya, kau tak akan merasa memiliki segalanya. Begitu pun sebaliknya. Jika engkau kehilangannya, kau tak akan merasa kehilangan segalanya." jawab ibu sambil tersenyum.

"Apakah ada lelaki yang setia, ibu?" gadis itu kembali bertanya.

Ibu tersenyum, lalu mendekap tubuh anaknya dengan erat. Pandangan mata perempuan itu hinggap disebuah potret seorang lelaki yang dulu sangat mencintainya. Ayah dari anak yang tengah luruh di pelukannya.

Lelaki yang juga sangat ia cintai. Tetapi tentu saja sebelum laki-laki itu pergi meninggalkan dirinya dan menikah lagi dengan seseorang penyanyi sebuah klub malam.

Perempuan tersebut makin mempererat pelukannya. Tanpa terasa air matanya pun jatuh menetes ke pipinya.

"Ada anakku, tapi ibumu tak mendapatkannya!" jawab perempuan tersebut dalam hati.

Surabaya - Bali, 07-11-2016

Kolaborasi dengan Budiman Gandewa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun