"Andin maaf, ya. Aku nggak bisa nganter kamu pulang" ujar Bayu pada gadis itu saat mereka berdiri di depan gerbang sekolah.
Bayu melepaskan genggamannya pada tangan gadis itu. Sedangkan Andin tak bisa berbuat banyak ketika Bayu mulai berjalan memunggunginya dan menghilang di parkiran sekolah.
Andin merasakan perubahan pada diri Bayu akhir-akhir ini. Baik sikap maupun perhatiannya dan ini bukan kali pertama Bayu membatalkan janjinya, serta tak mengantarnya pulang ke rumah. Seperti yang biasa cowok itu lakukan.
Gadis itu menghela nafas sebentar. Lalu mendaratkan pantatnya duduk di atas pasir yang lembut. Entah kenapa ia selalu merasa bisa membagi resah pada pantai dan baru pulang ke rumah setelah matahari tenggelam di garis cakrawala.
Cinta....
Perasaan itulah yang selalu mengalahkan nalar dan logikanya. Karena apa pun alasan yang diberikan oleh Bayu setiap membatalkan janjinya, selalu bisa diterimanya tanpa sedikit protes.
Senja mulai bergulir. Semburat merah di langit perlahan memudar dan berganti menjadi jelaga. Pekat!
Gadis itu berdiri dari duduknya dan mulai berjalan menyusuri garis pantai. Mencoba mengumpulkan setiap serpihan kenangan yang mungkin terserak di atas pasir yang mulai basah. Namun tetap saja perasaan cintanya kepada bayu, telah membutakan mata hatinya.
"Andin. Lihatlah matahari itu!" suara Bayu terngiang saat mereka biasa menghabiskan waktu berdua di pinggir pantai.
"Cintaku tak seperti matahari di kala senja, yang hanya menghadirkan keindahan sesaat. Cintaku seperti matahari yang baru terbit dan menerangi harimu hingga malam tiba." kembali terngiang perkataan Bayu kepadanya.
Selendang malam ternyata lebih indah dan gadis itu tidak pernah tahu. Pada langkah kaki yang semakin jauh, mata dia menangkap sosok bayangan yang sangat dia kenal dengan baik. Bayangan itu bagai pedang yang mencabik tiap sendi nadi.