Panorama pantai tak lagi menghadirkan keindahan, ketika ia melihat dengan jelas bayangan siapa itu. Kerasnya angin yang berhembus dirasakannya seperti angin topan yang meluluhlantakkan cinta yang dibangunnya.
Ingin rasanya ia berlari ke tengah pantai dan membiarkan dirinya tergulung ombak dan tenggelam bersama senja. Atau jika saat ini ia tengah berada di tepi jurang, mungkin Andin akan melompat ke dasarnya yang paling dalam. Agar tak melihat semua itu.
Andin tak lagi sanggup membayangkan semua kemungkinan yang bisa ia lakukan. Hanya untuk menterjemahkan luka di hatinya. Gadis itu berlari sekuat tenaga. Meski hamparan pasir seperti menarik dan membenamkan kakinya. Pikirannya hanya satu. Pulang dan menangis di pelukan ibu.
*
Suara tangisnya menyeruak di ruangan kamar yang berukuran 2 x 3 meter. Sementara air mata membasahi bantal saat ia membenamkan wajahnya disana.
Perlahan ibu berjalan mendekatinya lalu duduk di sisi tempat tidur. Usapan lembut tangan ibu di punggungnya, meskipun sedikit, namun cukup mengobati luka yang telah menggores hatinya.
"Sekarang ibu yakin, engkau telah mengerti. Tak baik mencintai secara berlebihan karena tak ada yang abadi di dunia ini. Mungkin engkau mencintai embun yang tampak berkilauan di kelopak bunga, karena engkau belum melihat indahnya matahari yang baru terbit. Mungkin saja engkau terperdaya oleh indahnya senja, padahal malam selalu tampak indah dengan cahaya bulan dan kerlip bintangnya" Suara ibu meredam isaknya.
"Tapi Bayu selalu mengatakan kalau ia hanya mencintaiku, ibu!" keluh gadis itu.
"Lalu kenapa engkau menangis?" tanya ibu.
"Aku melihat Bayu memeluk Indah dengan mesra, ibu" jawab gadis itu di antara isaknya.
"Itulah yang ibu siratkan, anakku. Seperti waktu yang terus berputar dan hari yang akan berganti. Karena keindahan senja dan langit yang bertabur bintang akan lenyap begitu saja, tatkala hujan membasahi bumi" selalu saja setiap perkataan ibu hanya menyiratkan sesuatu.