Mohon tunggu...
Pipiet Senja
Pipiet Senja Mohon Tunggu... profesional -

Seniman, Teroris Tukang Teror Agar Menjadi Penulis, Pembincang Karya Bilik Sastra VOI RRI. Motivator, Konsultan Kepenulisan, Penyunting Memoar: Buku Baru: Orang Bilang Aku Teroris (Penerbit Zikrul Hakimi/ Jendela)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Insiden di Bandara Cengkareng: Petugas Sotoy!

2 Juli 2010   11:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:08 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Mungkin ini tepatnya kado untuk daku, seorang manini yang sesungguhnya tak mau buka kartu identitas, dari petugas Cengkareng.

Rabu, 30 Juni 2010
Berangkat dari rumah “mewah” di kampung Cikumpa pukul 06.00.
Go! Go! Go!

Di mobil xenia itu berisi anakku Haekal yang menjadi sopir, di sebelahnya ada bapaknya yang kali ini (tumben!) tidak banyak omong alias mendadak pendiam. Nah loh!
Jok tengah ada putriku Butet yang sudah sebulan ini ngekos dekat kampusnya dengan alas an utama; biar bisa lebih focus, karena mau persiapan skripsi, cieeee….

Ada juga menantuku dan diriku di tengah-tengah keduanya, si kecil Zia yang suka gurayangan ke segala sudut mobil, kami biarkan bergerak semaunya. Sedangkan abangnya Zein masih tidur di jok belakang. Belakangan dia suka tidur malam, gara-gara bapaknya bolamania.

Kami lebih banyak bicara ringan, meskipun dalam hati ini ada rasa-rasa….bagaimana ya menjabarkannya? Maklum, mereka, keluarga kecilku ini akan kutinggalkan ke Hongkong selama sebulan, insya Allah.

“Kita ambil titipan teman Mama dulu di Cipaganti, ya Bang,” kataku mengingatkan.
“Tepatnya di mana, Ma?”
“Katanya di Margonda, kalau gak salah di Detos. Coba saja kita ke sana.”
Sepagian itu ternyata Depok sudah mulai macet, ceeettttt….

Syukurlah tak menemui kendali selain harus balik putar arah menuju tol Cibubur. Memasuki tol masih bisa ditoleransi, alias jalannya masih lengang dan kita bisa melaju dengan santai sambil sesekali bercanda tawa. Sayang, Butet sudah minta diturunkan di kosannya.

Nah, memasuki kawasan Ancol mulailah kepadatan terasa, semakin terus semakin macet. Kulirik beberapa kali jam mobil, sudah mendekati pukul.09.00, noardingnya piukul 09.35. Maka, hati mulai dagdigdug, dagdigdug, dagdigduuuug!

“Insya Allah kita sampai sebentar lagi, Ma,” hibur Haekal, meyakinkanku.
Dan akhirnya kami memang tiba tepat pukul 09.05 di terminal 2, karena aku akan terbang dengan pesawat Garuda.
“Ini pake saja uang Abang,” kata Seli yang mengetahui kekhawatiranku, karena hanya pegang uang cash 250 ribu saja. Maklum, belum gajian kan!

“Alhamdulillah, nanti minta ditransferkan ke tante Rosi, ya,” pesanku.
Kami pun bersalaman, lama kupeluk erat Zein, sepertinya dia merasa sedih, memelukku eraaaat sekali. Zia juga minta dipeluk dan mencium tanganku. Kubisikkan kata-kata ke kuping Zein;”Zein nanti masuk sekolahnya sama Bunda, ya. Manini ke Hongkong dulu, doain ya Naaak?”
“Iya, Manini….nanti beliin sepeda biru, ya?” balasnya mendesir di kupingku.

Seli kupeluk juga erat-erat, kutitipkan makanan bapak mertuanya kepadanya. Semoga dia mau memasak, pikirku berharap.
Kusalami pula bapaknya anak-anak, kucium tangannya dan minta ikhlas-ridhonya. Kurasakan matanya terus mengawasiku sampai lenyap masuk ke bagian dalam.

“Mama, jangan lupa jaga kesehatan, ya,” kata Haekal yang terakhir menyalamiku, terburu-buru karena harus memarkirkan mobil dulu.
“Iya, Nak, jaga juga anak-anak istrimu ya,” pesanku sambil kupeluk erat.
Waktu mau turun di kosannya, Butet pun memelukku lama sekali dan erat sekali.”Jangan lupa makaaaannnnnnn!” Demikian selalu pesannya.
Tidak ada masalah dengan boarding, kubayar 150 ribu taxnya, sedangkan fiskalnya bisa memanfaatkan NPWP. Alhamdulillah.

Masalah itu ternyata timbul di bagian imigrasi, ketika kusodorkan paspor kepada petugasnya untuk mendapatkan cap visa.
“Mau apa ke Hongkong?” tanyany terdengar agak ketus.
“Yah…diajak teman jalan-jalan.”
“Jalan-jalan, diajak…”
“Iya, diundang, diajak….” Mendadak bicaraku jadi kepleset, melihat sikapnya yang (menurutku, ukuran manini begini!) ketus dan tidak santun begitu.

“Mana undangannya?” tanyanya pula (semakin ketus di kupingku).
“Oh, gak saya bawa….tapi ada di laptop, bisa dibuka ya?”
“Oh, gak bisa buka laptop, bisa ganggu….navigasi?”
Nah loooh, haaaa?!

Apa tidak salah dengar nih kupingku? Buka laptop bisa ganggu navigasi, katanya?
Ini kan masih di luar pesawat? Gw yang bego apa doi siiih?
Kutaksir umurnya palingan sebaya anakku sulung! Tapi sotoynya itu loh….alamaaak!
“Jadi, bagaimana nih, Pak?” tanyaku minta kepastiannya.
“Yah, kalau tidak bisa nunjukkin undangannya, sana dulu deh!” katanya pula sambil menggeser pasporku, dan mengisyaratkan agar aku menyingkir dari hadapannya.
Deggggh!

Untuk beberapa jenak otakku serasa ngeblank!
Satu, dua, beberapa orang yang berbusana batik, rombongan umroh, berlalu dengan lancar.
Kutahankan rasa gerah, maka kutanya kembali kepastiannya;”Bagaimana ini, Pak, solusinya? Bisakah saya dipertemukan saja dengan atasan Anda?”

Aku mulai bersikap serius, strik, perang ya peranglah, apapun istilahnya itu!
Lah, iyalah….aneh-aneh saja, wong jadwalku di Hk sudah diatur panitia mulai besok, masa mendadak dibatalkan? Gara-gara aku tidak bisa menunjukkan undangannya, wujud kertasnya begitu?
Iiih, geloooow pisan nya budak teh!
Dia bangkit sambil berkata; “Ya sudah, sini ikut saya!”

Kuikuti dia ke sudut Imigrasi, begitu aku mau ikut masuk dia berkata semakin-semakin ketus buangeeet!
“Situ aja, tunggu! Saya mau bicara dulu!”
Aku pun manut, merandek di ambang pintu. Aku mulai berpikir-pikir, adakah penampilanku yang bisa dianggap teroris atau mungkin calon TKW? Rasanya (menurutku nih) busanaku sudah apik, jilbabku malah dibilang elegan oleh Seli, baru niiiih…. Iiih, masa iya sih gaya-gaya begini dianggap calon TKW?

Tapi, emang kenapa juga kalau TKW siiiih?

Kacoooow pisan, nya!
Kubiarkan itu si sotoy bisik-bisik, entah apa, kemudian dia balik kembali ke posnya. Aku pun dipersilakan masuk oleh petugas tinggi tegap, ganteng nih dan terutama, dia bertanya dengan santun:
“Dalam rangka apa nih, Bu, pergi ke Hongkong?”
Tuuiiiing, cliiink!

Kurasa, harus kubuka sajalah kartu AS-ku ini, sesungguhnya tidak suka!
“Begini, Pak, saya ini seorang penulis novel Islami. Nama pena saya Pipiet Senja, saya diundang oleh Dompet Dhuafa Hongkong, untuk mengajari nakerwan di sana sebagai penulis. Undangannya memang tidak saya bawa, tapi ada di laptop ini, bisa kita buka ya,” ceracauku.

Mendadak ada yang berseru, takjub kurasa:”Ooooh, ibu ini Pipiet Senja!” Dia, seorang anak muda bertubuh tinggi langsing, bangkit dari mejanya. Kurasa dialah atasan si sotoy.
Mendadak terjadi dialog seru (singkat) antara aku dengan beliau.

Intinya, ia mengaku ngefans berat karya-karyaku, bahkan salah satu novelku sampai diingat dengan jelas. “Waktu saya di Tarnus, sungguh ngefans banget sama karya-karya Bunda….”

Subhanallaaaah!

Dan dia mengantarku melintasi si sotoy yang mendelik, aneh kali yah, kok ada nenek-nenek diantar dengan santun oleh atasannya, nenek-nenek itu kan cuma mo jadi pembokat kaliii….yeeeh!

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun