“Mama, jangan lupa jaga kesehatan, ya,” kata Haekal yang terakhir menyalamiku, terburu-buru karena harus memarkirkan mobil dulu.
“Iya, Nak, jaga juga anak-anak istrimu ya,” pesanku sambil kupeluk erat.
Waktu mau turun di kosannya, Butet pun memelukku lama sekali dan erat sekali.”Jangan lupa makaaaannnnnnn!” Demikian selalu pesannya.
Tidak ada masalah dengan boarding, kubayar 150 ribu taxnya, sedangkan fiskalnya bisa memanfaatkan NPWP. Alhamdulillah.
Masalah itu ternyata timbul di bagian imigrasi, ketika kusodorkan paspor kepada petugasnya untuk mendapatkan cap visa.
“Mau apa ke Hongkong?” tanyany terdengar agak ketus.
“Yah…diajak teman jalan-jalan.”
“Jalan-jalan, diajak…”
“Iya, diundang, diajak….” Mendadak bicaraku jadi kepleset, melihat sikapnya yang (menurutku, ukuran manini begini!) ketus dan tidak santun begitu.
“Mana undangannya?” tanyanya pula (semakin ketus di kupingku).
“Oh, gak saya bawa….tapi ada di laptop, bisa dibuka ya?”
“Oh, gak bisa buka laptop, bisa ganggu….navigasi?”
Nah loooh, haaaa?!
Apa tidak salah dengar nih kupingku? Buka laptop bisa ganggu navigasi, katanya?
Ini kan masih di luar pesawat? Gw yang bego apa doi siiih?
Kutaksir umurnya palingan sebaya anakku sulung! Tapi sotoynya itu loh….alamaaak!
“Jadi, bagaimana nih, Pak?” tanyaku minta kepastiannya.
“Yah, kalau tidak bisa nunjukkin undangannya, sana dulu deh!” katanya pula sambil menggeser pasporku, dan mengisyaratkan agar aku menyingkir dari hadapannya.
Deggggh!
Untuk beberapa jenak otakku serasa ngeblank!
Satu, dua, beberapa orang yang berbusana batik, rombongan umroh, berlalu dengan lancar.
Kutahankan rasa gerah, maka kutanya kembali kepastiannya;”Bagaimana ini, Pak, solusinya? Bisakah saya dipertemukan saja dengan atasan Anda?”
Aku mulai bersikap serius, strik, perang ya peranglah, apapun istilahnya itu!
Lah, iyalah….aneh-aneh saja, wong jadwalku di Hk sudah diatur panitia mulai besok, masa mendadak dibatalkan? Gara-gara aku tidak bisa menunjukkan undangannya, wujud kertasnya begitu?
Iiih, geloooow pisan nya budak teh!
Dia bangkit sambil berkata; “Ya sudah, sini ikut saya!”
Kuikuti dia ke sudut Imigrasi, begitu aku mau ikut masuk dia berkata semakin-semakin ketus buangeeet!
“Situ aja, tunggu! Saya mau bicara dulu!”
Aku pun manut, merandek di ambang pintu. Aku mulai berpikir-pikir, adakah penampilanku yang bisa dianggap teroris atau mungkin calon TKW? Rasanya (menurutku nih) busanaku sudah apik, jilbabku malah dibilang elegan oleh Seli, baru niiiih…. Iiih, masa iya sih gaya-gaya begini dianggap calon TKW?
Tapi, emang kenapa juga kalau TKW siiiih?
Kacoooow pisan, nya!
Kubiarkan itu si sotoy bisik-bisik, entah apa, kemudian dia balik kembali ke posnya. Aku pun dipersilakan masuk oleh petugas tinggi tegap, ganteng nih dan terutama, dia bertanya dengan santun:
“Dalam rangka apa nih, Bu, pergi ke Hongkong?”
Tuuiiiing, cliiink!
Kurasa, harus kubuka sajalah kartu AS-ku ini, sesungguhnya tidak suka!
“Begini, Pak, saya ini seorang penulis novel Islami. Nama pena saya Pipiet Senja, saya diundang oleh Dompet Dhuafa Hongkong, untuk mengajari nakerwan di sana sebagai penulis. Undangannya memang tidak saya bawa, tapi ada di laptop ini, bisa kita buka ya,” ceracauku.
Mendadak ada yang berseru, takjub kurasa:”Ooooh, ibu ini Pipiet Senja!” Dia, seorang anak muda bertubuh tinggi langsing, bangkit dari mejanya. Kurasa dialah atasan si sotoy.
Mendadak terjadi dialog seru (singkat) antara aku dengan beliau.