Pengungsi dalam benak khalayak selalu berkonotasi tak mengenakan. Bayangkan terdengarnya saja tak bernafsu apalagi menjadi korban. Pengungsi adalah mereka yang secara terpaksa atau dipaksa berpindah oleh goncangan sosial (man made disaster) maupun kengerian amukan alam (natural disaster).
Pengungsi itu orang-orang yang berdampak suatu tragedi yang ngeri. Kengerian akan bahaya itu menimbulkan ketakutan. Rasa takut kemudian mengharuskan untuk berpindah, berlindung pada titik lokasi atau situasi yang aman.Â
Mereka lari dengan beban psikologis dan ekonomi yang terus memberatkan pundak.
Dalam konteks bencana alam, perkara pengungsi merupakan pembicaraan tentang status yang mendahului pengakuan. Dan tentang fakta kesengsaraan yang mendahului perhatian. Terpicu oleh faktor kedaruratannya.
Secara spesifik, boleh dikatakan bahwa pengungsi merupakan orang tersandera oleh musibah kehilangan dengan asa untuk mendapatkan. Mereka terhukum oleh kahancuran yang selalu haus akan perbaikan, pemberdayaan menuju kemapanan.
Oleh karena itu, orang-orang yang telah tercap pengungsi secara realis tidak seharusnya absen dari baris-baris kebijakan pemerintah. Mereka harus dipelihara, dididik secara berkala sehingga tangguh menghadapi situasi hidupnya yang baru.
Pengungsi di Hewuli sebenarnya berada pada petak-petak kehausan akan campur tangan pemerintah. Fakta itu tak bisa dipungkiri. Bahwa mereka terbiarkan tanpa sentuhan-sentuhan pemerintah yang signifikan.
Pengungsi Hewuli atau orang-orang mendiami perkampungan Nangahure Bukit, kelurahan Hewuli, kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, NTT merupakan korban letusan Gunung Rokatenda pada 23 maret 2013 silam.
Hewuli menjadi salah satu tempat dari sekian pesebaran para pengungsi rokatenda. Entah bagaimana nasib para korban itu di tempat lain. Tidak tahu pasti. Namun diyakini bahwa duka dan kecemasan yang sama menggandrungi perjalanan hidup mereka.
Kini sudah hampir 10 tahun. Suatu angka besar dalam waktu yang cukup panjang. Ada asumsi yang mencuat transparan. Bahwa pemerintah lepas tangan dalam aspek  pembangunan infrastrukutur, pemerintah mengabaikan pemberdayaan ekonomi, pemerintah menyepelekan eksistensi generasi yang lahir dari lingkungan ini.
Semua itu dapat dirincikan sesuai kenyataan yang ada. Beberapa hal miris kala musim hujan yakni anak-anak sekolah harus memakai tas plastik (kresen) sebagai pelapis sepatu mereka ketika hendak ke jalan setapak menuju sekolah. Itu karena jalanan dengan tekstur tanah yang sangat becek.
Di tambah lagi rumah bambu warga dimasuki air hujan karena pancuran atap yang berdekatan. Lagi mayorits pengungsi adalah petani yang tidak mempunyai lahan untuk digarap pada musim hujan.
Ada berbagai fakta yang memprihatinkan yang perlu disuarakan. Ada banyak gugatan yang butuh penjelasan. Ada banyak kesulitan, kebuntuan yang menuntut jalan. Kepada siapa realitas pelik ini diadukan? Pemerintah!
Yach Pemerintah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H