Siapa di jagat ini yang tidak terpesona dengan cinta? Insan mana yang tak mendambakan nuansa beraroma cinta? Hati mana yang tak ingin meluapkan gelora cinta? Memori manakah yang paling manis kalau itu bukan cerita tentang cinta? Perkara mana yang dapat terselesaikan tanpa sentuhan cinta?
Berbagai gugatan diatas tak pernah meleset dari diri kita. Karena semua kita tentu tergilas aliran perasaan yang kita sebut itu cinta. Cinta terkadang hadir dalam dua sisi mengejutkan yang tak dapat disangkal.
Cinta menggetarkan jiwa dengan pesona ganda yakni kebahagiaan dan kesakitan. Namun cinta tetap diamini dan diagungkan. Pun terkadang cinta menurunkan derajat logika dan mengangkat martabat hati namun cinta masih sedemikian eksis sebagai sesuatu patut dicari, dimaknai dan dihidupi semua pribadi.
Mungkin dahaga jiwa kita sebagai manusia yang terus mendera kita untuk mencari terang di balik selubung yang menutupi kemolekan cinta. Mungkin juga hasrat hati yang terus menggerakkan kita untuk menghampiri pesona cinta.
Tetapi yang pasti sifat khas kita itu menuntut untuk selalu berselancar meneropong titik terdalam sebagai acuan kekaguman kita itu. Hal ini tak bisa kita elakkan. Kita akan terus mencari arti cinta entah sampai kapan. Karena kita adalah insan dengan hasrat hati yang tak pernah puas dan selalu ingin mencari.
Saya adalah salah satu orang yang turut merasakan bahkan terjerumus dalam rasa kagum atas cinta saat demi saat. Ketertarikan itu sepertinya melabuhkan diri saya pada aneka karya-karya sastra yang puitis dan romantis.
Salah satu penyair Lebanon yang melegenda bernama Chairil Gibran, pernah berujar demikian; "cinta adalah anugerah teragung dari Sang Ilahi kepada jiwa-jiwa yang peka". Kata-kata ini setiap saat menyadarkan saya untuk peka terhadap peristiwa, kata-kata puitis, maupun sosok inspiratif yang saya jumpai.
Dan persis kali ini saya berjumpa dengan ujaran-ujaran dalam bait-bait puisi "Aku ingin" karya Sapardi Djoko Darmono. Tentunya setiap barisan puisi mendiang Djoko Darmono itu tidak menggambarkan kebesaran cinta secara utuh. Apalagi kata-katanya terpaksa harus mewakili semua situasi perasaan saya. Tidak mungkin terjadi demikian. Karena hal ini sangat tergantung pada kepekaan kita dalam merenungkannya. Namun sebagian besar penggalan-penggalan itu turut mencerahkan kebekuan batin saya akan cinta.
Berkat kepekaan itu kemudian memaksa saya untuk membaca puisi "aku ingin" ini berulang-ulang kali. Dibantu oleh keheningan, saya kemudian berusaha untuk mengolahnya. Saya mencoba menempatkannya dalam hati dan menimbang dengan benak secara jernih dan teliti.
Kemudian saya mencocokan dengan pengalaman dan pengetahuan pribadi saya. Selanjutnya saya berpikir bahwa harus ada coretan yang memberikan wajah nyata kekaguman saya itu yang secara langsung bisa dibagikan, dicerna oleh khalayak.
Menakar Cinta
"aku ingin mencintaimu dengan sederhana"
"aku ingin mencintaimu dengan sederhana"
Bila dicermati akan terungkap bahwa dalam dua bait puisi "aku ingin" secara jelas sastrawan kelahiran Surakarta tahun 1940 ini tidak menerangkan batasan cinta. Dalam dua bait itu dimana setiap baris pertamanya dibuka hanya dengan kalimat  "aku ingin mencintaimu dengan sederhana".
Yang menarik justru ia menempatkan cinta dalam kata kerja yakni "mencintaimu" sekaligus merujuk pada pribadi yang lain. Tak hanya itu, ia juga  melabeli cara kerja cinta itu dengan kata "sederhana".Â
Secara sepintas mungkin terdengar biasa dan nyaris tak punya makna. Namun bagi saya ada kekuatan arti yang terungkap dari kalimat ini. Ada muatan gramatika yang lengkap yakni subjek, objek dan keterangan. Dengan penggambaran posisi relasi terhubung dari aku (subjek) yang lain (objek) dan kriteria tindakan (keterangan). Relasi ini menjadi begitu penting dan mendasar dalam hubungan percintaan.
Kendati memuat pola gagasan teratur namun tidak menjamin kedalaman cinta bisa dijabarkan tuntas. Kita hanya meyakini bahwa cinta hanya terungkap dari diri kita yang peka dan dibatasi dalam standar pengertian yang beragam sesuai nuansa rasa, logika dan imajinasi kita.
Sebagai insan yang pernah bergumul dan merasakan gelora cinta, kita akhirnya menyadari bahwa ada patokan umum yang memberi arah pemahaman kita. Patokan itu terumus dari beberapa kriteria yakni agen yang peka, pola relasi dan konsekuensi dari tindakannya.
Ada tiga pernyataan yang memberi arah cinta dan tindakannya;
Pertama, aku tanpa engkau tidak ada cinta dan tindakan.
Aku dan engkau adalah subjek (pencinta). Aku-Engkau dihubungkan dengan cinta. Tanpa kehadiran yang lain tidak ada kepekaan yang timbul dalam diri. Dengan begitu tidak ada pula perasaan dan tindakan apalagi cinta. Jadi tanpa orang yang kita cintai segalanya nihil. Dengan itu tidak ada cinta.
Kedua, Aku bersama engkau tanpa tindakan adalah kebohongan.
Artinya mencintai tanpa wujud ekspresi nyata adalah kepalsuan yang hanya akan mendatangkan kekerdilan. Tindakan merupakan cara terbaik merawat cinta sekaligus bukti keterhubungan relasi diantara pribadi. Tanpa tindakan tidak ada cinta.
Ketiga, Aku bersama engkau dalam tindakan tanpa bahagia yang hidup adalah bukan cinta.
Cinta itu relasi erat terpadu antara aku, engkau dan tindakan yang tetap berorientasi pada bahagia yang aktif. Bahagia yang aktif artinya bukan tiada kesakitan tetapi upaya terus-menerus untuk berjuang mencari cara walau itu sangat sederhana menuju prioritas untuk saling membahagiakan satu dengan yang lain. Tanpa upaya itu sekali lagi tidak ada cinta.
Cinta sederhana selalu belum
"dengan kata yang tak sempat diucapkan"
"dengan isyarat yang tak sempat disampaikan"
Cinta  memang sesuatu yang tak pernah final. Demikian pun ada hal yang tak putus dalam puisi ini. Maksudnya kriteria tindakan yang merupakan cara pengungkapan cinta yang disebut oleh Sapardi Djoko Darmono adalah "dengan sederhana" kemudian membarenginya dengan istilah "kata" dan "isyarat".
Tetapi untuk memahami "kata" dan "isyarat" boleh kita tebak maksudnya. "Kata" berarti ungkapan dengan kalimat yang menyejukan-membahagiakan. Sedangkan isyarat adalah aneka ekspresi yang bermaksud untuk  menghidupkan-menyelamatkan.Â
Rasanya "kata" dan "isyarat" merupakan hal sederhana. Bahkan bagian dari kesederhanaan dalam mencintai. Maka mustahil hal yang sederhana ini belum disampaikan dan diwujudkan. Padahal ekspresi seperti ini biasa dan familiar di mata banyak orang.
Namun ada sudut pemahaman yang lain yang dapat kita garis bawahi. Kesederhanaan justru menjadi hal yang paling pelik untuk dimengerti karena enggan diamalkan secara konstan dan sempurna. Contohnya "cinta". Cinta merupakan kata biasa. Cinta dimiliki, dikenal dan diagungkan semua orang. Cinta terlihat sangat sederhana.
Namun siapakah diantara kita yang mampu mengurai arti dan isyarat cinta sampai tuntas? Siapakah diantara kita yang mengamalkan cinta secara sempurna? Saya sendiri masuk dalam kelompok orang yang gagal memahami dan mengamalkan cinta itu. Padahal itu sangat sederhana loh.
Cinta sederhana itu seperti dua gerakan antara sudah dan belum. Kalau kita memeriksa pengalaman hidup kita sendiri maka sebenarnya kita ketahui bahwa kita sudah berkata dan bertindak atas nama cinta namun belum cukup. Sebenarnya kita belum melakukan cinta namun sudah sebenarnya.
Dengan kata lain, kita mendekat pada cinta namun ia menjauh. Kala kita menjauh cinta semakin mendekat. Yang pasti bahwa dinamika hidup tetap akan digerogoti oleh cinta tanpa terkecuali.
Diri yang habis
 "kayu kepada api yang menjadikannya debu"
"awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"
Ungkapan di atas merupakan bentuk transformasi dalam konteks relasi cinta. Perubahan itu dilandasi rasa cinta melewati jalan terjal pengorbanan untuk suatu kebahagiaan yang otentik.
Mencintai artinya aksi dalam pemberiaan diri secara total. Seperti kayu yang terbakar oleh api menjadi debu dan awan berubah menjadi hujan kemudian kering bahkan habis ditelan tanah. Cinta itu ditemukan dalam pengorbanan tanpa batas. Penyerahan diri tuntas sampai kehabisan diri.
Dalam konteks ini, nuansa khas cinta yang ingin ditampilkan oleh Darmono senada cinta agape telah digunakan sejak zaman yunani kuno. Cinta agape itu merangkum kualitas tinggi tanpa syarat apapun (unconditional love). Cinta yang demikian sering dihubungkan dengan Sang Pencipta kepada ciptaan-Nya.
Lantas bagaimana kita mewujudkan cinta agape atau "cinta sampai tuntas" dalam kehidupan harian kita. Sejatinya, gambaran cinta ini tak bisa diamalkan secara sama oleh kita yang masih bertubuh jasmaniah ini. Namun dalam keterbatasan itu ada patokan nilai cinta yang mengharuskan kita untuk mendekatinya.
Pada prinsipnya, walaupun cinta tetap berada pada posisinya yang absolut. Artinya kedahsyatan cinta tetap tak bisa didefinisikan secara tuntas. Namun kita memahami bahwa cinta harus menghidupkan. Walau cinta adalah anugerah namun kita menyadari bahwa ada aneka cara kreatif untuk menggiring orang yang kita cintai pada titik kebahagiaan.
Cinta dan bahagia adalah tujuan utama dari cinta. Itu merupakan nilai tertinggi dari cinta. Itu adalah cara terdekat menuju cinta yang sempurna. Sebab mencintai berarti mengambil konsekuensi yakni keharusan untuk menunjang kehidupan dan kebahagiaan orang yang kita cintai. Keputusan dan tindakan itu harus ada walau nantinya diwujudkan dalam cara yang paling sederhana sekalipun.
Akhirnya, kita perlu jujur bahwa dalam cinta ada selubung rahasia yang sebenarnya mengatasi kemampuan diri kita untuk menjelajahinya. Karena cinta lebih besar dari diri kita. Dengan begitu, Djoko Darmono benar bahwa kata dan isyarat yang dipakai merupakan bagian terkecil dari cinta yang tak pernah tuntas. Apalagi mewakili secara utuh kebesaran cinta.
Sampai disini seperti Darmono, "aku, kamu, mereka, kita hanya ingin tuk mencinta" tetapi cinta tetap misteri yang tetap mengatasi diri kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI