Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harga Suatu Tawa

26 Desember 2020   21:55 Diperbarui: 26 Desember 2020   22:05 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar ketawa dari pixaby.com

Jason Ranti pernah berujar; 

"Hidup hanya numpang ketawa.

Ku ketawa maka aku apa."

Dengan kalimat diatas, Jason Ranti ingin menempatkan ketawa pada posisi cukup manusiawi dan membarenginya dengan gugatan eksistensial bak tabir yang harus dibuka dari dalam diri manusia.

Pertama-tama, ketawa merupakan suatu ekspresi. Batasan ini diusulkan sebagai upaya untuk tidak mengkerdilkan keluasan arti ketawa. Sekaligus jalan mengiring ke permukaan aneka makna simbolisnya.

Ketawa sebagai suatu ekspresi yang terlihat. Dan ekspresi itu tentunya timbul dari suatu kepekaan dan keterbukaan diri akan sesuatu entah itu tentang sosok, suasana, kejadian, peristiwa dls.

Jadi ketawa sebagai ekspresi merupakan taggapan akan sesuatu yang digerakan oleh kesadaran. Kemudian untuk menakar nilai yang utuh dari ekspresi ketawa tidak pernah lepas dari pengaruh dan alasannya.

Oleh karena itu, ketawa dikategorikan sebagai ekspresi, efek atau akibat tunggal  yang lahir dari berbagai sebab atau alasan jamak. Dari sana pula memuat dan mencuat beragam penafsiran.

 Untuk itu, upaya dalam memberi patokan mutlak terhadap ketawa dan menilai mutu ekspresinya merupakan hal yang rumit. Karena kita harus membaca secara holistik mulai dari agen, sebab-akibat, konteks, alasan, maksud, tujuan dan seterusnya. Singkatnya ketawa sebagai suatu fakta yang dipengaruhi. proses gerakan itu inheren dengan kualitas yang tak habis digali.    

Ketawa; Soal Rasa, Logika dan Fakta

Daripada terjebak dalam lautan kebingungan dalam upaya mengusut tuntas arti ketawa, lebih baik saya mencairkan kekalutan pikiran saya dengan membagikan pengalaman-pengalaman berikut. Pengalaman ini tentunya tak lepas dari kesukaan dan kebiasaan yang pernah saya lakukan.

Pengalaman I, ketika liburan di kampung halaman, saya mempunyai kebiasaan untuk menonton televisi bersama keluarga dan orang sekampung di rumah. Karena listrik hidup dari jam 18.00-22.00, maka kami hanya menyaksikan sinetron dengan adegan yang membuat penasaran dan menjengkelkan bagi para orang tua.

Ketika culpikan sinetron mulai terlihat tegang, saya biasanya lebih memilih untuk memperhatikan mimik dan ekspresi dari semua yang sedang menoton. Ada aneka luapan yang terungkap dari mereka seperti marah, jengkel, prihatin pun menangis.

Ketika sinetron berganti dengan pariwara komersil, mereka mendapati bahwa saya sedang mengamati mereka. Di sinilah gelegar tawa mulai tercipta. Kami semua ketawa.

Pengalaman II, perkara membaca, mendengar dan menonton dengan segala gugahannya belum usai. Di mana hampir setiap sore menjelang malam saya sering berkumpul, bercerita dengan salah seorang pensiunan pemerintah yang memiliki hobi menyaksikan berita aktual melalui platform digital.

Kami mulai ketawa ketika dia mulai protes terhadap pejabat atau oknum tertentu dengan tindakan mereka yang kelihatannya konyol. Semisal, pejabat yang korupsi di tengah pandemi covid-19. Ini adalah wujud kemandekan logika karena bagaimana mungkin orang beruang mengambil recehan untuk mereka yang miskin. Untuk apa. Ilogikal. Lucu. Kami pun tertawa.

Pengalaman III, setiap kali menjelang perayaan keagamaan, saya selalu melihat mereka yang berkecukupan membagikan sembako bagi para lansia dan para janda. Kejadian ini berulang kali saya saksikan dengan mata kepala sendiri.

Saya ketawa mengamati hal ini. Bahwasannya saya tidak mampu berbuat seperti apa yang mereka lakukan. Saya menertawakan diri sendiri oleh karena kekurangan dan keterbatasan saya. Mungkin pula karena egoisme yang akut yang membuat saya tidak mau berbagi.

Dari ketiga pengalaman ini, saya ketawa karena ekspresi sentimental orang kampung menyaksikan sinetron. Saya ketawa karena kemandekan logika pejabat publik. Saya ketawa karena ketidak-relaan diri untuk berbagi. Kejadian-kejadian ini benar-benar membangkitkan kegairahan rasa untuk ketawa.

Lantas, bagaimana harga suatu tawa dimengeti? Mari kita menakarnya dengan beberapa sudut pandang.

Harga suatu ketawa

Hidup sebenarnya sudah cukup membuat kita ketawa. Kesia-siaan berjalan berbarengan dengan ketakjuban. Kepada keabadian, ketawa adalah ekspresi yang agung dalam hidup.

Ketawa itu sifatnya eksistensial. Manusia manapun boleh ketawa. Namun bila dikaji makna simbolisnya, ketawa justru menyimpan segudang pengertian.

Pertama, bila ketawa ditempatkan dalam konteks kehidupan manusia secara keseluruhan maka sebenarnya hidup sudah mempunyai materi sendiri yang mengharuskan kita untuk ketawa. Dalam pengertian bahwa apa yang tersaji sebagai kejadian ditemukan, dialami seseorang entah itu kesialan maupun kemujuran merupakan bahan rujukan untuk ketawa.

Kedua, Selanjutnya bila ketawa terpikir searah dengan poros asal muasal penciptaan hidup manusia (dimensi keilahian) maka ketawa merupakan suatu ungkapan syukur. Karena sejatinya hidup manusia diciptkan, dilahirkan, diberikan dan tak ada seorang pun yang menjadikan dirinya sendiri dari oleh kemampuannya sendiri.

Seperti seorang pemikir eksistensial bernama Martin Heidegger berkata  bahwa hidup sebagai suatu "keterlemparan" tanpa sadar, "tanpa mengenal kata sepakat". Selanjutnya subjek (kita) yang dalam perjalanan waktu barulah mengalami dinamika kemajuan dalam dunia ini.

Di dunia ini kita mulai mengambil sikap dengan kesadarannya untuk menentukan arah hidup melalui kemungkinan-kemungkinan yang tersaji. Namun hidup kita tetap berada dalam proses bergumul dengan misteri pemberian itu. Kita akan terus bergulat dengan cara berada sepanjang hidup kita. Singkatnya, keterlemparan kita merupakan wujud dari kekecilan dan ketakberdayaan kita. Dengan begitu, ketawa adalah ekspresi agung yang merupakan perwujudan rasa syukur atas anugerah hidup itu.

Bila taraf pemaknaannya disandingkan dengan masa hidup kita, maka melepas pergi tahun 2020 dengan ketawa adalah jalan kecil terhadap penghargaan akan masa hidup yang kita terimah sedangkan mencibiri tahun ini merupakan bentuk kutuk dan pengkianatan.

Ketiga, bila ketawa dibaca dalam konteks relasi sosial sebagimana terungkap dalam pengalaman-pengalaman pribadi saya diatas. Maka ketawa merupakan salah satu cara menularkan kesadaran dengan sisi edukatif yang efektif.

Dari sana kepekaan terbangun, kemandekan logika diluruskan dan egoisme personal dicairkan. Sisi relasional-edukatif ini mempu membuka kesadaran kita untuk membenah diri.

Keempat, ketawa memiliki nilai jual yang tinggi. Dengan kata lain ketawa memiliki sisi ekonomis langsung. Lihatlah para komedian yang mampu membuat para penontonnya ketawa terbahak-bahak. Pada sisi ini ketawa merupakan kemampuan dan kreativitas dengan ciri khas yang bisa mendatangkan keuntungan finansial.

 Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa ketawa adalah kemampuan diri, upaya  merangsang rasa, pelurusan logika kepada tindakan penuh sadar dan jalan penghormatan terhadap hidup dalam bentuk rasa syukur. Itulah harga suatu tawa.

Mari berbenah, mari kita manusia Indonesia ketawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun