Daripada terjebak dalam lautan kebingungan dalam upaya mengusut tuntas arti ketawa, lebih baik saya mencairkan kekalutan pikiran saya dengan membagikan pengalaman-pengalaman berikut. Pengalaman ini tentunya tak lepas dari kesukaan dan kebiasaan yang pernah saya lakukan.
Pengalaman I, ketika liburan di kampung halaman, saya mempunyai kebiasaan untuk menonton televisi bersama keluarga dan orang sekampung di rumah. Karena listrik hidup dari jam 18.00-22.00, maka kami hanya menyaksikan sinetron dengan adegan yang membuat penasaran dan menjengkelkan bagi para orang tua.
Ketika culpikan sinetron mulai terlihat tegang, saya biasanya lebih memilih untuk memperhatikan mimik dan ekspresi dari semua yang sedang menoton. Ada aneka luapan yang terungkap dari mereka seperti marah, jengkel, prihatin pun menangis.
Ketika sinetron berganti dengan pariwara komersil, mereka mendapati bahwa saya sedang mengamati mereka. Di sinilah gelegar tawa mulai tercipta. Kami semua ketawa.
Pengalaman II, perkara membaca, mendengar dan menonton dengan segala gugahannya belum usai. Di mana hampir setiap sore menjelang malam saya sering berkumpul, bercerita dengan salah seorang pensiunan pemerintah yang memiliki hobi menyaksikan berita aktual melalui platform digital.
Kami mulai ketawa ketika dia mulai protes terhadap pejabat atau oknum tertentu dengan tindakan mereka yang kelihatannya konyol. Semisal, pejabat yang korupsi di tengah pandemi covid-19. Ini adalah wujud kemandekan logika karena bagaimana mungkin orang beruang mengambil recehan untuk mereka yang miskin. Untuk apa. Ilogikal. Lucu. Kami pun tertawa.
Pengalaman III, setiap kali menjelang perayaan keagamaan, saya selalu melihat mereka yang berkecukupan membagikan sembako bagi para lansia dan para janda. Kejadian ini berulang kali saya saksikan dengan mata kepala sendiri.
Saya ketawa mengamati hal ini. Bahwasannya saya tidak mampu berbuat seperti apa yang mereka lakukan. Saya menertawakan diri sendiri oleh karena kekurangan dan keterbatasan saya. Mungkin pula karena egoisme yang akut yang membuat saya tidak mau berbagi.
Dari ketiga pengalaman ini, saya ketawa karena ekspresi sentimental orang kampung menyaksikan sinetron. Saya ketawa karena kemandekan logika pejabat publik. Saya ketawa karena ketidak-relaan diri untuk berbagi. Kejadian-kejadian ini benar-benar membangkitkan kegairahan rasa untuk ketawa.
Lantas, bagaimana harga suatu tawa dimengeti? Mari kita menakarnya dengan beberapa sudut pandang.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!