Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bhonafantura Diamuki Rokatenda Lagi Diterpa Covid-19, Bagaimana Nasibnya?

14 Desember 2020   23:03 Diperbarui: 20 Januari 2021   21:48 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pengungsi. (sumber: KOMPAS)

Pandemi covid-19 yang menggejolak di tahun 2020 ini memang telah membuka jendela kemungkinan dengan varian lebelnya. Dan lebel ekonomi adalah yang paling trasnparan terlihat. 

Gemuruh pandemi secara kuat mengisolasi pergerakan laju ekonomi dan mengharuskan kita untuk hidup bertahan ditempat.

Secara ekonomi, bertahan berarti harus mengeluarkan dari diri sesuatu entah itu uang tabungan, barang berharga untuk digadaikan, dijual bila perlu untuk melengkapi dan memenuhi kebutuhan tanpa ada harapan pemasukan tambahan dari luar. Dengan begitu, pandemi memberi isyarat bahwa siapa saja yang bedompet tebal akan kokoh dan tegar dan berdompet tipis akan layu dan bahkan mati. 

Pandemi ini merupakan bencana sosial yang menggusur dan bahkan geliatnya mampu menyeleksi keberuntungan setiap orang. Untuk hal ini boleh kita kacai pengalaman diri masing-masing soal kekurangan, kecukupan, ketahanan hidup dan prediksi keberlanjutan pemenuhan kebutuhan hidup entah sampai kapan.

Namun kalau boleh diringkas, pandemi telah menenggelamkan orang lemah-miskin menjadi begitu terpuruk dan mengusung ketidakpastian pada aneka usaha mereka yang giat berjuang dan juga peluang meraup keuntungan dengan cara baik tercela maupun terhormat bagi pemodal ataupun pejabat.

Lantas, jika pandemi dikategorikan sebagai bencana sosial yang telah menimpa semua orang, bagaimana dengan bencana alam seperti lahar panar Rokatenda yang lebih dahulu telah mengguyur masyarakat di Pulau Palue?

Bagaimana nasib dari setiap mereka yang harus mengungsi dengan menyebrangi lautan? Apa saja harta yang paling berharga yang harus mereka bawa serta untuk mencukupi kehidupan ditempat pengungsian?

Rokatenda dan pandemi yang dilalui Bhonafantura

Beberapa bulan lalu dalam suatu kegiatan di Kota Maumere, saya bersama kedua teman berkesempatan untuk mengunjungi beberapa tempat pengungsian akibat letusan gunung Rokatenda diseputaran daerah Nangahure, Desa Hewuli kecamamtan Alok Barat, kabupaten Sikka, NTT. Rupanya jarak tempat ini tidak begitu jauh dari pusat kota Maumere.

Di sana kami menjumpai begitu banyak para pengungsi dengan kondisi hidup seadanya saja. Mereka sebagaian besar berasal dari kampung Awa, Desa Nitung Lea yang merupakan lokasi terdekat dengan Gunung Berapi Rokatenda yang mengamuk tahun 2012 silam.

Gambar latar amukan gunung Rokatenda dari Tempo.co yang diolah dengan warna buram bersama foto Ibu Bhonafantura sedang menenun Sarung (dokpri)
Gambar latar amukan gunung Rokatenda dari Tempo.co yang diolah dengan warna buram bersama foto Ibu Bhonafantura sedang menenun Sarung (dokpri)

Tak pernah menyangka bahwa saya bersama kedua teman harus memasuki rumah, bercerita dan meneguk kopi di rumah seorang ibu bernama Bhonafantura. Tak terbayang pula rasa haru mulai mendera batin ketika memandang wajah ibu tua berusia 50 tahun yang memiliki dua anak itu.

Tak butuh waktu lama pula untuk jujur dan akrab diantara kami. Mungkin kami benar-benar terhubung oleh rasa lewat satu taplak lantai yang kami duduki karena memang tidak ada kursi dirumahnya. Mungkin pula digerogoti dan dipaksakan oleh penderitaan yang mengharuskan Bhonafantura untuk jujur, berkata apa adanya sekedar mendapatkan kelegahanny. Entahlah.

Namun dari ceritanya dapat terbaca bahwa ia sesungguhnya terhimpit tajam dua bencana baik bencana alam (Rokatenda) dan bencana sosial (pandemi covid-19). Namun Bhonafantura hanya mengurut cerita hidupnya teristimewa pada titik-titik paling genting selama dua masa ini.

Dalam ceritanya, Bhonafantura menjelaskan bahwa dulu sebelum letusan gunung Rokatenda tanggal 8 oktober 2012, ia memiliki kondisi ekonomi yang baik dan mampu mencukupi kebutuhan harian serta bisa menyekolahkan kedua anaknya di Maumere.

Alasannya karena Bhonafantura adalah seorang petani yang memasok makanan dari hasil kebun. Ia juga memiliki kios kecil dan aktif dalam menenun kain adat (sarung) serta binatang piaraan yang bisa dipasarkan di Maumere untuk mendapatkan uang dalam mencukupi kebutuhan keluarganya.

Namun setelah diguyur lahar panas Rokatenda dan diusir dari kampung kelahiran karena gemuruh Rokatenda yang menkutkan maka semuanya harus ditinggalkan. Rumah dan segala perabotnya, bahan-bahan jualannya, peratalatan menenun pun lenyap karena ia harus menyelamatkan diri dengan mengungsi. Rasanya amat sulit kalau semuanya barang-barang harus dibawa karena penyebrangannya melewati laut.

Di Maumere, Bhonafantura harus tinggal pengungsian yang disediakan pemerintah. Ia melewati hari-harinya dengan berjualan bensin ditempat itu untuk mencukupi kebutuhannya.

Hal yang sungguh memiluhkan rasanya tinggal dipengungsian. Keterbatasan dan kekurangan seperti litani miris harian dan seperti hantu disetiap saat yang terus menakut-nakutinya. Karena untuk makan secukupnya, untuk pakaian sepantas yang dikenakan pada tubuh, untuk tidur dengan kasur empuk pun jauh dari harapan.

Kegetiran semacam itu tak bertahan lama, ketika pemerintah melalui kebijakannya mengibahkan tanah dan memberikan uang untuk membangun rumah di Hewuli. Namun kemapanan ekonomi dari usaha sarung belum terlihat mengakar kuat, ditambah lagi kegerahan Bhonafantura dalam mengadaptasikan diri dengan lingkungan kota, kini pandemi mengkerdilkan usahanya.

Sebenarnya Ibu Bhonafantura tidak tahan dengan kehidupan kota. Karena ia adalah petani yang setiap hari terbiasa harus bekerja kebun. Katanya bahwa tiap hari hanya lebih banyak waktu untuk duduk-duduk saja. Sangat membosankan. Memang benar karena disana tidak ada lahan untuk diolah dan tidak ada tempat yang dijadikan untuk memelihara ternak.

Di tambah lagi pandemi covid-19 yang melulu-lantahkan usaha sarungnya dan menakutkan bagi orang-orang lanjut usia seperti dirinya, akhirnya ia berkomitmen untuk pulang kampung dan berpeluh nasib di bawah kaki gunung  berapi Rokatenda.

Pilihan ibu Bhonafantura tepat kelihatannya. Ia ingin menghindari wabah virus mematikan ini namun ia juga harus menghadap Rokatenda yang masih aktif yang entah kapan waktunya akan meletus lagi. Ini adalah pilihan yang membingungkan.

Lebih meragukan lagi adalah bagaimana ia memulai hidupnya di palue, sedang atap rumahnya sudah dilahap abu panas? Dari mana modal yang ia dapatkan untuk membeli ternak, memperbaiki rumah, membuka usaha kios dan bahan-bahan tenun sarung?

Narasi Bonafantura; nilainya bagi Mata hati Kita

Beberapa waktu lalu, saya pernah kontak putri sulung dari Bhonafantura di Maumere sekedar untuk mengucapkan proficiat atas wisudanya. Saya dikabarkan bahwa mama (ibu bonafantura) telah kembali ke kampung awa, Palue. Mama mengucapkan banyak salam dan terima kasih berlimpah atas kebaikan hati kalian (saya dan kedua teman).

Entah kenapa saya sendiri merasa puas dan legah dengan informasi itu. Dalam hati saya sangat bersyukur karena bisa bertemu dengan Ibu Bhonafantura dan merasakan kedalaman relasi serta ikatan batin yang kuat seperti ibu bagi saya dan sosok ibu bagi semua orang.

Saya ingat betul waktu itu, kami bertiga masing-masing akhirnya membeli dua kain sarung milik ibu Bhonafantura dengan harga cukup dan layak sesuai kondisinya.

Tak hanya itu, kami juga memperkenalkan sarung-sarungnya kepada kenalan di Jakarta dan melalui media sosial. Kala itu, semua sarungnya laku terjual atau dibeli oleh kenalan-kenalan kami itu dengan nilai harga yang pantas.

Mungkin karena kenalan-kenalan kami itu merasa kasihan atau karena mereka butuh sarung ibu Bhonafantura untuk dipakai, kami tidak tahu. Yang kami tahu adalah hubungan antara kenalan kami dan keluarga ibu Bhonafantura terjalin dengan baik hingga kini.

Mungkin juga kenalan kami pun mendonasikan uang untuk kecukupan hidup keluarga Ibu Bhonafantura, kami tidak tahu. Kami tahu kini bahwa usaha ibu Bhonafantura membaik dan rumah dikampung halamannya pun telah direnovasi.

Satu lagi yang tak terlupakan adalah kami juga mengajarkan putri Bhonafantura untuk mendaftarkan diri sesuai program bantuan pemerintah. Jujurnya program Prakerja yang telah digulirkan pemerintah. Dan akhirnya diterimah. Dengan itu, keluarga mereka mendapat tambahan modal serta pengetahuan dari pelatihan online dalam menunjang usaha mereka.  

Tak pernah lupa setiap kali mendapat sedikit kelebihan, saya bersama beberapa teman selalu mengirimkan sedekah untuk membantu keluraga Ibu Bonafantura. Kami yakni dengan cara menolong seperti ini keluarga tangguh di tengah bencana.

Pengalaman ini mengajarkan saya:

Bertolong-tolonglah dalam hidup karena bantuan sekecil apapun itu akan sangat berarti bagi mereka yang membutuhkan.

Saat ini, Ibu Bhonafantura telah bernasib sama dengan jutaan manusia yang terkapar pandemi covid-19. Pun Ibu Bhonafantura pastinya adalah wakil dari ribuan orang yang melarat karena bencana alam. Hal ini betul adanya.

Secara spesifik dengan adanya musibah Rokatenda, ibu Bhonafantura adalah sosok ibu yang bagi para ibu, sosok petani tulen bagi para petani, sosok penenun bagi para penenun untuk masyarakat Palue pada umumnya yang tak bisa disebutkan semuanya disini.

Tak hanya itu, Ibu Bhonafantura adalah korban yang terendus akibat bencana rokatenda selain anak-anak yang putus sekolah dan keluarga-keluarga harus merantau untuk mengadu nasib di negeri seberang yang alpa dari perhatian kita.

Para korban inilah yang sangat membutuhkan uluran tangan kasih kita. Mereka perlu ditolong saat ini dan segera.

Memang benar bahwa menolong adalah kata yang mudah diucapkan tetapi amat sangat berat untuk ditunjukan. Namun tak benar dan tidak layak jika membaca, menyaksikan melalui media tentang kegusaran hidup pun tak sempat bagi kita.

Konsentrasi kita hanya terpaku dan tertuju pada keriuhan publik dengan segala kemewahan agenda dan artibutnya. Namun pesonanya penuh sensasi yang nihil makna bahkan berbau anarkis dan koruptif.

Mari kita tanggalkan keributan publik yang menjelit di jagat maya dengan aneka kemasan yang menggiurkan kini. Kita hapus saja dari ingatan sosok superioritas yang mewacanai perpecahan, mengumbar kegaduhan dan mencoreng nilai persaudaraan bangsa.

Bukan kita tidak peduli terhadap berbagai gejolak sosial ini tetapi sebaiknya dan yang terpenting adalah pertama-tama mencari dan menemukan sosok yang alpa dari barisan perhatian publik yang sangat-sangat membutuhkan pertolongan kita.

Saat ini kita dibutuhkan walau itu hanya sekedar menoleh untuk melihat mereka. Selebihnya jika dalam diri kita mempunyai benak yang tajam untuk mencerna, hati yang peka untuk merasa maka kehendak baik itu akan lahir lewat tangan yang terbuka untuk memberi kepada orang-orang yang terhimpit bencana berdobel-dobel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun