Tak pernah menyangka bahwa saya bersama kedua teman harus memasuki rumah, bercerita dan meneguk kopi di rumah seorang ibu bernama Bhonafantura. Tak terbayang pula rasa haru mulai mendera batin ketika memandang wajah ibu tua berusia 50 tahun yang memiliki dua anak itu.
Tak butuh waktu lama pula untuk jujur dan akrab diantara kami. Mungkin kami benar-benar terhubung oleh rasa lewat satu taplak lantai yang kami duduki karena memang tidak ada kursi dirumahnya. Mungkin pula digerogoti dan dipaksakan oleh penderitaan yang mengharuskan Bhonafantura untuk jujur, berkata apa adanya sekedar mendapatkan kelegahanny. Entahlah.
Namun dari ceritanya dapat terbaca bahwa ia sesungguhnya terhimpit tajam dua bencana baik bencana alam (Rokatenda) dan bencana sosial (pandemi covid-19). Namun Bhonafantura hanya mengurut cerita hidupnya teristimewa pada titik-titik paling genting selama dua masa ini.
Dalam ceritanya, Bhonafantura menjelaskan bahwa dulu sebelum letusan gunung Rokatenda tanggal 8 oktober 2012, ia memiliki kondisi ekonomi yang baik dan mampu mencukupi kebutuhan harian serta bisa menyekolahkan kedua anaknya di Maumere.
Alasannya karena Bhonafantura adalah seorang petani yang memasok makanan dari hasil kebun. Ia juga memiliki kios kecil dan aktif dalam menenun kain adat (sarung) serta binatang piaraan yang bisa dipasarkan di Maumere untuk mendapatkan uang dalam mencukupi kebutuhan keluarganya.
Namun setelah diguyur lahar panas Rokatenda dan diusir dari kampung kelahiran karena gemuruh Rokatenda yang menkutkan maka semuanya harus ditinggalkan. Rumah dan segala perabotnya, bahan-bahan jualannya, peratalatan menenun pun lenyap karena ia harus menyelamatkan diri dengan mengungsi. Rasanya amat sulit kalau semuanya barang-barang harus dibawa karena penyebrangannya melewati laut.
Di Maumere, Bhonafantura harus tinggal pengungsian yang disediakan pemerintah. Ia melewati hari-harinya dengan berjualan bensin ditempat itu untuk mencukupi kebutuhannya.
Hal yang sungguh memiluhkan rasanya tinggal dipengungsian. Keterbatasan dan kekurangan seperti litani miris harian dan seperti hantu disetiap saat yang terus menakut-nakutinya. Karena untuk makan secukupnya, untuk pakaian sepantas yang dikenakan pada tubuh, untuk tidur dengan kasur empuk pun jauh dari harapan.
Kegetiran semacam itu tak bertahan lama, ketika pemerintah melalui kebijakannya mengibahkan tanah dan memberikan uang untuk membangun rumah di Hewuli. Namun kemapanan ekonomi dari usaha sarung belum terlihat mengakar kuat, ditambah lagi kegerahan Bhonafantura dalam mengadaptasikan diri dengan lingkungan kota, kini pandemi mengkerdilkan usahanya.
Sebenarnya Ibu Bhonafantura tidak tahan dengan kehidupan kota. Karena ia adalah petani yang setiap hari terbiasa harus bekerja kebun. Katanya bahwa tiap hari hanya lebih banyak waktu untuk duduk-duduk saja. Sangat membosankan. Memang benar karena disana tidak ada lahan untuk diolah dan tidak ada tempat yang dijadikan untuk memelihara ternak.
Di tambah lagi pandemi covid-19 yang melulu-lantahkan usaha sarungnya dan menakutkan bagi orang-orang lanjut usia seperti dirinya, akhirnya ia berkomitmen untuk pulang kampung dan berpeluh nasib di bawah kaki gunung  berapi Rokatenda.