Bahaya terbesar ketika pandemi melanda jagat kita adalah hampir semua orang terkungkung dengan urusannya masing-masing. Sikap individualisme tampak kuat. Dan bila terjadi demikian maka perjalanan kebersamaan manusia akan terpecah-pecah dan terkotak-kotak. Orang kaya akan menjadi lebih kaya dan miskin akan terkapar dalam kemelaratan.
Oleh karena itu, berani keluar dan memandang sesama dengan mata penuh perhatian adalah cermin dari sikap pertama dalam menolong mereka yang tak beruntung dikala pandemi.
Kedua, pandemi memang telah mengancam nyawa manusia tetapi habitat manusa tidak pernah akan punah bila kita saling memperhatihkan dan mengakui.
Memberi pengakuan berarti memberi ruang untuk hidup dengan kondisi yang elegan dan terhormat bukan menunjukan aksi yang memecah-belah kebersamaan dan meriuhkan publik. Jelas kenyaman akan hidup bersama terhambat dan terganggu.
Ketiga, keindahan bunga dan kesegaran udara yang terpancar dari pohon-pohon adalah hak semua orang untuk menikmati. Saya merawat untuk hidup kita. Artinya saya bertindak bagi dan untuk semua.
Dengan perspektif ini, saya telah mengusung tanda-tanda  dan teladan kehidupan yang baik bagi generasi manusia. Bila hari ini hak orang lain dicaplok oleh sikap koruptif, lantas apa yang warisan berharga yang boleh ditularkan? Bukankah sikap koruptif itu adalah upaya pengkerdilan terhadap hidup manusia.
Seperti halnya, bila saya dipercayakan untuk merawat bunga dan pohon yang diberikan orang lain namun tugas ini dilalaikan maka kekecewaan dan cibiran akan muncul dimana-mana. Sama halnya jika pemimpin diberi bunga oleh rakyatnya namun keindahan itu dinikmati secara pribadi dan golongannya maka gaduhlah dan ambruklah kebersamaan ini. Tak heran pula kemelaratan akan terus berlanjut dan litani kelaparan akan terus digemahkan oleh mereka yang alpa dari bilangan pelayanan pemimpinnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H