Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Corona: "Pembunuh" atau "Penyelamat" Kemanusiaan

20 Maret 2020   13:50 Diperbarui: 20 Maret 2020   16:01 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Corona menggejala secara menggila. Kehadirannya telah, sedang dan akan terus menggeliat memasuki pelosok dunia. Corona bahkan terbukti menggerogoti, mengobrak-abrik kemapanan dunia yang terlihat matang. Sampai kapan, entahlah.

Dengan kuatnya virus ini, menghentikan gerak laju dan ekspektasi anak-anak pertiwi dalam berpacu. Kelihatanya begitu miris karena corona sedang membeleggu nasib dan mencengkram potensi aktualitas kita. Jahat memang karena fenomena ini pun telah menggerus bilangan kemanusiaan. Manusia terseret pada ruang gelap kematian.

Tercerap seperti luka pada nilai kemanusiaan sebab corona menjangkiti dan memperkokoh diri dalam tubuh manusia. Corona pun menjadikan manusia sebagai perantara geliatnya. Selanjutnya corona menjaring manusia-manusia.

Manusia seperti dijadikan wabah atau penyakit bagi hidup yang lain. Faktanya, isolasi terhadap korban yang terinfeksi virus corona oleh tim medis dan instruksi social distancing pemerintah. Bukankah secara terselubung manusia (positif corona) mengancam manusia. Dan ketakutan akan manusia (positif corona) membunuh manusia.

Tragis bukan! Tapi itulah empedu dalam refleksi kemanusiaan. Pertanyaannnya, beginikah kronisnya pikiran kita sekarang? Inikah tapal batas kebijaksanaan kita dalam mencermati wabah ini?

Bila paradigma berpikir kita terbangun dengan gugatan sedangkal lagi sedini ini maka kita hanya akan menebar ketakutan dan kegelisahan yang tidak sehat. Kita akan menyalahkan pemerintah karena telah membatasi ruang aktualitas kita. Bahkan kita hanya akan menyematkan sigma pada korban corona sebagai "pembunuh".

Lantas bagaimana mendesain pola pikir yang seimbang dan tindakan praktis yang tepat dalam menilai dan memaknai wabah yang telah melukai kemanusiaan ini? bagaiman kita merumuskan gagasan yang melampaui fenomen corona sebagai upaya menemukan nilai positif  yang lain dari gejala ini?

1. Saatnya menyelamatkan

Semisal bagi kami orang-orang Nusa Tenggara Timur himbauan untuk "work, study and pray  from home" dan social distancing merupakan suatu problem. Kebanyakan untuk kerja harus keluar berkebun karena ekonimi "lemah lembut"; sebagian besar gagap teknologi bagaimana harus belajar online, dimana jaringannya, paketan atau wifinya; menjaga jarak sosial itu berarti mengkerdilkan dan menenggelamkan kekerabatan. 

Secara sepintas kelihatannya dilematis dan kontradiktif. Benar bahwa memperhitungkan NTT sebagai bagian dari wilayah kesatuan Republik Indonesia adalah keharusan. Tetapi menomorsatukan orang-orang NTT dari satu kategori manusia indonesia adalah egosime. Sebab kemanusiaan bukan soal angka. Martabat manusia itu sama.Sampai disini harus ada pembaruan paradigma agar kita terlepas dari sikap egoisme individualitik.

Penyair Lebanon pernah berujar demikian, YOU (singular) adalah yang terindah sebab tanpa "engkau" nihil keberadaan diriku. Di tengah gemburan wabah ini, "kekitaan" sebagai manusia sebagai perasaan dan logika darasariah menuju penyelamatan bersama. 

Sebab hidup tidak bisa ditakar dengan angka matematis. Oleh karena itu, praksis sederhananya yakni mengindahkan instruksi pemerintah karena terumus dari analisis makro tentang manusia indonesia. Manusia menyelamatkan manusia.

2. Saatnya go home

Virus corona menguak sesuatu yang lain yang kadang nilainya tak dihiraukan oleh orang kebanyakan. Pesona teknologi, intensitas pekerjaan dengan jarak dan waktu tinggi telah memunculkan kehambaran dalam relasi kekelurgaan. Saatnya pulang ke rumah. Kepulangan dengan tujuan bukan hanya melihat wajah-wajah dari setiap anggota keluarga namun berjuang untuk menemukan arti dari yang tak tampak. 

Misalnya; merasakan kehangatan dalam keluarga; memendang wajah ayah dan ibu yang semakin keriput tetapi kita terlahir dan terdidik dari mereka.

3. Saatnya bersolider

Berada dirumah bukan berarti apatis dengan yang lain. Jelas bahwa bahwa pemerintah menghimbau untuk menghindari kerumunan bukan lockdown. Ada peluang dan ruang walau terbatas untuk bersolider seperti yang dilakukan Bill Gates dan Melinda yang menyumbangkan 100 juta dolar AS untuk mendanai penelitan di Amerika. Bagi kita bukan ukuran namun bela rasa yang tulus untuk sesama. Singkatnya wajah kemanusiaan ditemukan dalam sikap solider.

4. Saatnya berkarantina rohani

Adagium yang begitu nyaring terdengar diruang publik bahwa "hidup adalah pilihan". Benarkah? Terdengar indah namun mandeg dalam logika. Seolah-olah kita mempunyai kemampuan untuk meng-ada-kan hidup dari diri sendiri. Mustahil bahwasannya kita lahir dari diri kita.

Sejatinya, hidup merupakan sesuatu yang "terberi" yang dalam bahasa kagamaan merupakan suatu anugerah yang dinikmati tetapi digeluti. Didalam pemberian itu, kita mempunyai aneka kemungkinan yang mengharuskan kita untuk memilih sebagai jalan, profesi dll untuk bahagia dalam hidup.

Jadi ajakan bagi kita adalah, kembali pada keaslian diri dan menyadari diri dan yang sebagai hadiah yang "terberi". Dengan jalan itu, kita bisa berdoa.

Semua itu tanda keiklasan dan pendamaian untuk membangun kemanusiaan yang utuh dari diri, rumah, sesama dan Pencipta.

Mari menyelamatkan!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun