Mohon tunggu...
Fathan Winarto
Fathan Winarto Mohon Tunggu... Penulis - History and Theology Story-Teller

Hobi Baca Sejarah, Terbuka Untuk Diskusi Masalah Agama, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar, Cairo.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saatnya Para Petinju Bersalaman

8 November 2019   14:09 Diperbarui: 8 November 2019   14:27 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya yakin banyak peneliti yang telah menemukan hal ini. Bahwa secara substansi tidak ada yang bertentangan antara budaya dan agama. Tapi hal itu jelas tidak diperpanjang penelitiannya -yang berpotensi medamaikan keduanya- karena benturan diperlukan.

Kedua hal ini, sebetulnya bila disatukan, akan menghasilkan masyarakat yang kuat dan solid. Dengan agama, mereka akan menemukan ketenangan batin dan tujuan hidup yang jelas. Dan dengan budaya, akan lahir identitas dan harga diri suatu bangsa. 

Ini akan menghasilkan masyarakat yang solid dan damai. Karena pertikaian apapun yang terjadi, mereka akan menyadari bahwa mereka tetap dari bangsa, satu identitas, satu tanah air. Sehingga tidak sudi dipecah oleh golongan manapun.

Tidak hanya mencegah perpecahan dalam perbedaan pendapat, tapi juga identitas bangsa bisa menciptakan suasana damai yang dapat melancarkan pemufakatan dua pendapat yang bertentangan. 

Inilah kekuatan masyarakat bila agama dapat selaras dengan budaya. Tapi suasana begini hanya akan menciptakan sebuah kebenaran. Dan tidak menyisakan tempat bagi nafsu kotor yang ingin berkuasa. Karena itulah, orang orang dengan nafsu ingin berkuasa akan mencari jalan demi tercapainya tujuan. Yaitu dengan membenturkan keduanya.

Awal mula kedua hal ini bisa dibenturkan adalah kerjaan para leluhur yang dapat dikategorikan "kelewatan". Awalnya semua berjalan sesuai rencana. Penyelarasan antara budaya dan agama masih dalam jalurnya. 

Terlihat dari para Wali Songo yang mengjarkan ajaran islam dengan budaya setempat. Dan menjadikan platform acara kebudayaan menjadi acara keagamaan. Ini semua masih dalam batasan. Karena penyelarasan dilakukan masih dalam konteks akhlaq dan metode mendekatkan diri kepada Tuhan.

Namun lama kelamaan, mereka yang ingin lebih jauh menyatukan agama dan budaya akhirnya melewati batas. Mereka mulai memasuki ranah kepercayaan. Dasar dari sebuah agama itu sendiri coba di mainkan dan diatur sehingga selaras dengan budaya. Inilah yang menjadikan substansi antara budaya dan agama -yang memiliki kesamaan- menjadi rabun.

Sebagai contoh, mereka melakukan penyelarasan di ranah mistik. Mungkin bagi mereka malaikat malaikat yang Tuhan ciptakan sama dengan jin jin yang menguasai wilayah pantai selatan. 

Lebih jauh lagi, mereka menyamakan konsep hubungan antar manusia degan hubungan manusia dengan makhluk halus. Inilah yang beruaha mereka selaraskan. Mereka melihat para leluhur menyembah makhluk halus, dan meminta pertolongan pada mereka. Dan mereka melihat diri mereka yang menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Ada kesaamaan pada yang dimintai pertolongan, sama sama tak terlihat. 

Dan konsep makhuk halus pun ada dalam agama yang mereka anut. Maka dengan kesamaan kesamaan itu, mereka beranggapan bahwa tidak dilarang oleh agama meminta pertolongan pada makhluk halus. Hal keliru ini terus terjadi bahkan di masa modern ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun