Lalu bagaimana dengan hasrat ingin berkuasa yang disamakan dengan hasrat manusia menyaksikan perkelahian? Sebenarnya kesamaannya terletak dalam satu hal paling mendasar.Â
Nafsu. Ketika adu serangan terjadi, dan darah mengalir dari alah satu petaraung, nafsu manusia seakan terpenuhi. Kepuasan batin aneh yang mendatangkan rasa aman dan mendidihkan adrenalin. Sama dengan ketika manusia ingin berkuasa.
Nafsu mereka memberikan alasan alasan manis mengapa mereka harus memegang kendali, dan adrenalin pun mendidih seakan tertantang sehingga tergeraklah untuk melakukan manuver demi tercapainya tujuan mereka.
Dari dua produk nafsu tadi, hanya satu yang selamat dan menyesuakian zaman sehingga produk itu diterima oleh norma. Singkatnya, hanya satu produk yang berhasil dibersihkan.Â
Nafsu melihat perkelahian dapat dibersihkan dengan konsep olahraga tinju. Bagaimana dengan yang satunya? Produk yang satu lagi bukannya dibersihkan, tapi malah dikembangkan menjadi hal yang lebih kotor lagi. Produk yang satu lagi malah menggambungkan beberapa bagian dari produk yang telah dibersihkan sehingga menjadi semakin kotor.
Ambisi berkuasa adalah hal besar lagi kompleks yang bisa dibahas panjang lebar. Namun yang akan dibahasa disini hanya pada bagian yang ia "curi" dari produk nafsu yang satunya. Nafsu melihat perkelahian.
Dalam ambisi politik, jelas nafsu melihat perkelahian bisa digunakan. Karena itulah beberapa hal dibenturkan di Indonesia atau di bagian bumi lain. Dari perkelahian itu pun -seperti yang terjadi di ring tinju- banyak yang mengambil keuntungan.
Yang paling jelas adalah media dengan menggelar acara acara debat para intelek yang sangat menarik perhatian. Selain itu tentu benturan itu dinikmati pula oleh para politikus yang membuat dua hal itu berbenturan. Jadilah Politikus bisa disamakan dengan Promotor. Lalu bagaimana para politikus mendapat keuntungan dari dua hal yang berbenturan ini? Seperti para promotor yang mendapat keunutngan dari petarung mereka yang menang di ring tinju?
Bisa dibahas melalui cara yang lebih fundamental, tapi disini akan dibahasan dengan mengambil sebuah contoh kasus. Dan kasus ini pun akan coba kita damaikan.
Terdapat sebuah kasus kasus benturan yang sebenanya terjadi karena "kesalahan melangkah yang terlanjur besar". Agama dengan Budaya. Diantara dua hal yang berebenturan ini, semua sepakat yang pertama datang ke sebuah wilayah jelas adalah budaya. Karena budaya dapat tumbuh tanpa agama sekalipun. Lalu datanglah agama dengan segala aturan aturannya.
Bila diteliti, sebenarnya seluruh aturan dalam agama tidak bertentangan dengan budaya. Sekali lagi ini adalah pemikiran yang radikal, tapi begitulah kesimpulan bila kita berfikir substansi. Hal inilah yang 'disembunyikan' sehingga bisa terjadi benturan benturan yang menguntungkan golongan terntentu.