Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dinilai terlalu banyak ikut campur menangani persaingan bisnis transportasi publik. Kaitannya antara kepentingan pengusaha dan kebutuhan masyarakat akhir-akhir ini. Fenomena ini akrab dengan istilah taksi online.
Menteri Perhubungan RI (Menhub) Budi Karya Sumadi (BKS) menggagas payung hukum. Tujuannya untuk menengahi perkara tersebut. Peraturan Menteri (PM) No. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, terbit.
Perlukah pemerintah turun tangan atas persoalan ini?
Para driver (supir) hanya tokoh wayang dalam pergelutan dunia usaha tersebut. Sayangnya, mereka jadi korban langsung. Pertama, dengan adanya angkutan berbasis aplikasi, para supir taksi, bus dan angkutan kota (angkot) kewalahan. Pendapatan mereka tak sebanding dengan setorannya.
Menolak? Wajar saja. Para supir ini akhirnya bergerak secara sporadis di sejumlah kota-kota besar. Tuntutannya menutup jenis transportasi online tersebut. Ilegal katanya. Buntunya adalah aksi unjuk rasa, sweeping kendaraan yang diduga taksi online, bahkan ada yang anarkis.
Supir taksi online juga akhirnya menjadi korban. Kendaraannya dirusak. Antar penumpang hanya Rp 20 ribu, perbaiki mobil bisa sampai ratusan ribu. Kalau sudah korban makan korban begini, bagaimana? Apa penyedia layanan angkutan ini mau ikut-ikutan jadi korban?
Misal, pengusaha angkutan konvensional, apa mereka mau terima hasil setoran seadanya. Apa mereka mau siap rugi dengan memberikan jatah tetap kepada supir meski tak banyak penumpang diangkut? Lalu apakah pengusaha angkutan online siap bayar ganti rugi kerusakan kendaraan?
Peran pemerintah dibutuhkan. Sebab, ungkapan ‘rezeki sudah ada yang atur’ atau ‘semua sudah ada rezekinya masing-masing’ tak mempan lagi menenangkan mereka. Bisnis jelas semakin tak kompetitif dan sportif. Makanya perlu regulasi yang mengatur secara adil.
Setiap angkutan ini punya pasar masing-masing. Misal angkot untuk orang-orang yang ingin mengirit ongkos, dan berpergian jarak dekat. Pun sama dengan bus, hanya moda transportasi massal ini dikhususkan tujuan jarak jauh. Kemudian taksi, punya segmen berbeda. Agak kelihatan elite.
Setelah muncul taksi online. Mobil pribadi dengan plat hitam ikut-ikut melayani layanan jasa transportasi publik. Pelan-pelan kondisinya berubah. Konsumen angkutan konvensional ini beralih. Pertama, alasan harga. Lalu diikuti alasan lain seperti kenyamanan dan hemat waktu.