Mohon tunggu...
Andi Ikhbal
Andi Ikhbal Mohon Tunggu... -

Hanya pion catur yang berharap menjadi queen.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Salahkah Pemerintah Campur Tangan Soal Transportasi Online?

22 Maret 2017   21:46 Diperbarui: 27 Juli 2017   14:53 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Supir angkot mogok beroperasi. sumber: rimanews.com

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dinilai terlalu banyak ikut campur menangani persaingan bisnis transportasi publik. Kaitannya antara kepentingan pengusaha dan kebutuhan masyarakat akhir-akhir ini. Fenomena ini akrab dengan istilah taksi online.

Menteri Perhubungan RI (Menhub) Budi Karya Sumadi (BKS) menggagas payung hukum. Tujuannya untuk menengahi perkara tersebut. Peraturan Menteri (PM) No. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, terbit.

Perlukah pemerintah turun tangan atas persoalan ini?

Menhub Budi Karya Sumadi (kiri), Kapolri Jendral Tito Karnavian (tengah) dan Menkominfo, Rudiantara (kiri) melakukan sosialisasi PM 32/2016 di Mabes Polri. sumber: detik.com
Menhub Budi Karya Sumadi (kiri), Kapolri Jendral Tito Karnavian (tengah) dan Menkominfo, Rudiantara (kiri) melakukan sosialisasi PM 32/2016 di Mabes Polri. sumber: detik.com
Sebagai penulis, saya tentu memiliki sudut pandang sendiri. Namun apakah cukup rasional? Tentu setiap individu punya perspektifnya masing-masing. Kita coba uraikan dari hal paling sederhana.

Para driver (supir) hanya tokoh wayang dalam pergelutan dunia usaha tersebut. Sayangnya, mereka jadi korban langsung. Pertama, dengan adanya angkutan berbasis aplikasi, para supir taksi, bus dan angkutan kota (angkot) kewalahan. Pendapatan mereka tak sebanding dengan setorannya.

Menolak? Wajar saja. Para supir ini akhirnya bergerak secara sporadis di sejumlah kota-kota besar. Tuntutannya menutup jenis transportasi online tersebut. Ilegal katanya. Buntunya adalah aksi unjuk rasa, sweeping kendaraan yang diduga taksi online, bahkan ada yang anarkis.

Supir taksi online juga akhirnya menjadi korban. Kendaraannya dirusak. Antar penumpang hanya Rp 20 ribu, perbaiki mobil bisa sampai ratusan ribu. Kalau sudah korban makan korban begini, bagaimana? Apa penyedia layanan angkutan ini mau ikut-ikutan jadi korban?

Misal, pengusaha angkutan konvensional, apa mereka mau terima hasil setoran seadanya. Apa mereka mau siap rugi dengan memberikan jatah tetap kepada supir meski tak banyak penumpang diangkut? Lalu apakah pengusaha angkutan online siap bayar ganti rugi kerusakan kendaraan?

Peran pemerintah dibutuhkan. Sebab, ungkapan ‘rezeki sudah ada yang atur’ atau ‘semua sudah ada rezekinya masing-masing’ tak mempan lagi menenangkan mereka. Bisnis jelas semakin tak kompetitif dan sportif. Makanya perlu regulasi yang mengatur secara adil.

Setiap angkutan ini punya pasar masing-masing. Misal angkot untuk orang-orang yang ingin mengirit ongkos, dan berpergian jarak dekat. Pun sama dengan bus, hanya moda transportasi massal ini dikhususkan tujuan jarak jauh. Kemudian taksi, punya segmen berbeda. Agak kelihatan elite.

Setelah muncul taksi online. Mobil pribadi dengan plat hitam ikut-ikut melayani layanan jasa transportasi publik. Pelan-pelan kondisinya berubah. Konsumen angkutan konvensional ini beralih. Pertama, alasan harga. Lalu diikuti alasan lain seperti kenyamanan dan hemat waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun