Kalau naik angkot atau bus, lebih banyak berhenti. Mulai dari ‘ngetem’ hingga naik-turun penumpang. Kalau naik taksi, ongkosnya tak tahan. Penyedia layanan seperti Grab Car, Go Car dan Uber Taxi sebagai alternatif. Mereka menawarkan privasi penumpang, hanya berhenti di lokasi tujuan, dan yang tak ada komprominya adalah masalah tarif. Murah, ada kepastian harga.
“Kalau naik taksi online itu, di awal-awal memesan kita sudah tahu harganya. Bahkan sudah pasti harganya ‘segitu’. Kalau naik taksi kan, makin panjang perjalanan, makin malah. Belum kalau macet dan supirnya salah ambil rute. Bisa-bisa makin mahal,” kata seorang teman kepada saya.
Seragam dengan pendapat saya ketika itu. Inilah yang dinamakan fenomena kebutuhan publik. Masyarakat memimpikan sistem transportasi seperti ini. Kini terwujud. Lalu, apakah harus sesingkat ini bangsa kita bermimpi soal angkutan transportasi modern dan nyaman?
Pemerintah, bisa saja melepas isu ini secara liar. Toh penumpang tak merasa rugi dengan taksi online. Pun pengusahannya. Semakin banyak konsumen mereka, maka terus membengkak keuntungannya. Siap-siap saja kalau subsidi tarif taksi online semakin ‘gila’. Harga kian murah.
Kalau dibiarkan, maka ‘gap’ antara modern dan tradisional semakin besar, karena secara modal bisnis, taksi online tentu lebih kuat. Namun, pemerintah tak diam saja. Dengan sengaja membiarkan angkot serta taksi kolaps di tengah jalan, setelah sekian lama ‘eksist’ untuk masyarakat.
Pemerintah ingin mengakomodir mimpi masyarakatnya. Namun tak mau juga membuang sistem tradisional yang sudah terbangun sejak lama. Jadi tinggal bagaimana masyarakat memilih. Pun kita sebagai pengguna harus lebih bijak. Tak ada salahnya juga kalau naik angkot sekali-kali, kan?
Tapi, tak perlu rasanya saya bicara banyak soal bijak atau tidaknya kita memilih angkutan umum. Kondisi ini tentu mendorong penyedia layanan transportasi konvensional untuk memperbaiki diri. Jangan ada lagi supir ugal-ugalan dan kendaraan tak layak jalan beroperasi.
Memang butuh waktu untuk itu. Mereka para pengusaha layanan angkutan umum ini pastinya akan beradaptasi. Entah untuk tujuan pasrah menerima pola pembaharuan ini, atau ikut serta mengawal tren kekinian publik. Sebagai catatan saja, keberadaan mereka masih dibutuhkan penumpang.
Coba saja ambil contoh, bila angkot mogok ‘narik’ maka penumpang juga terlantar. Tak semua orang kita sudah siap dengan modernisasi, kan? Masih banyak dari mereka berdiri di pinggir jalan menunggu angkot atau taksi. Tinggal bagaimana menarik kembali pasar yang beralih tadi.
Bila taksi ‘eksist’ dengan jarak tempuh 10 kilometer punya estimasi harga Rp 30 ribu, maka batas taksi online setidaknya Rp 25 ribu. Tak seperti sekarang ini, mereka bisa kasih tarif ke penumpang Rp 10 ribu, plus dipotong dengan promo ini itu, ujung-ujungnya Rp 5 ribu, bahkan gratis.