Mohon tunggu...
pintukata
pintukata Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis Bebas.

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebilah Suara Angin

13 September 2020   20:06 Diperbarui: 13 September 2020   20:13 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Badai Topan Haishen menghantui daerah Changchun selama dua pekan. Sebuah pemandangan ganjil, badai itu berjalan menyusuri wilayah utara China hilir mudik mengepal awan menjadi gelap. Selimutnya membawa kesedihan yang menutupi setiap kota silih berganti. 

Cuaca begitu dingin. Angin menyapa pepohonan yang menjulang di sudut bibir trotoar, lalu mendesak, memaki sampai sepatah kata-katanya menidurkan pohon cemara itu di atas pangkuan sepanjang jalan.

Dalam sepetak kamar di waktu pagi, aku menatap mentari dan cahayanya kian redup tersuruk pada kaki-kaki awan yang mengangkang menghalangi pandanganku. Tiba-tiba angin terdengar melengking dan hujan ikut bersenandung luruh berirama.

Deras hujan membelah hening dari balik jendela seolah-olah ia datang dilemparkan oleh Tuhan untuk menemaniku yang sedang belingsatan haru meratapi hari-hari setengah hati.

Bias-bias cahaya pagi tertutupi barisan kavaleri topan Haishen ini yang menyulut gelisah semua orang, sebab mereka harus menghormatinya berpatroli sepanjang kota dan jika melanggar, Ia tak segan menampar-nampar tubuh kita hingga memucat dan rapuh. 

Pun gemuruh langit riuh rendah menambah kekhawatiran kami. Lalu kampus, pemerintahan, pusat perbelanjaan, pasar-pasar, kantor-kantor, semua melayangkan peringatan agar bersembunyi di balik hunian masing-masing dan singsingkan lengan untuk tetap waspada.

Lengkap sudah penderitaan pagi ini. Pasalnya berbulan-bulan kami hidup memang sudah bersembunyi lama di balik selebaran masker. Terhitung sejak Januari awal meledaknya amarah secuil partikel paling kecil-mikro seolah-olah tak tampak dan adanya tiada, abstrak. 

Ia berangsur-angsur menggandakan diri, sporadis dengan membentuk jalinan dari yang satu ke yang lain, terus menerus dengan menusuk sistem kekebalan manusia yang berupa kumparan imun. 

Partikel virus itu sengaja membabi buta mengancam eksistensi kami di bumi, makin hari kian meluas tersebar dan melahap habis korban yang bergelimang bergelantungan hampir di setiap belahan negara. Situasi kian memburuk, memaksa kita bersembunyi berdekapan di goa masing-masing. Bahkan membuat kita saling curiga satu sama lain.

"Setan Covid!" geram Thouf kepadaku.

Thouf adalah lelaki pengagum Tuhan dan gemar berspekulasi terhadap suatu peristiwa. Ia selalu mewedarkan hubungan suatu peristiwa yang terjadi sebagai objek dan Tuhan sendiri sebagai subjek utamanya. Ia pernah berbicara mengenai kesesatan manusia melakukan pencarian jati diri hidup di tengah-tengah penduduk desa yang haus guyuran rohani. 

Baginya, hidup sebagai hamba haruslah konsisten mencintai Tuhan serta utusannya dengan kelengkapan pengetahuan dan kebijaksanaan. Ia yakin menyebutnya sebagai segitiga cinta. Tapi sudah berapa lama itu berlalu? Tiga tahun. Tiga tahun bukanlah apa-apa, ia merasa baru kemarin berpikir seperti itu. Tetapi ia teguh mengarungi cintanya.

Memang waktu sangat cepat berlalu sehingga kita tidak dapat singgah dan berhenti di detik keberapa pun, selain memilih mengakhirinya dengan mati bunuh diri. Itu pun kita bakal dibangunkan lagi di suatu tempat yang benar-benar baru. Jika kami menyebutnya, masa di mana semua akan dipertanggung-jawabkan, diperhitungkan, lalu diberi ganjaran sesuai perbuatan baik buruk kita semasa hidup di dunia.

***

Thouf dan aku mengampu ilmu di negeri tirai bambu ini. Kami berdua adalah mahasiswa hukum yang selalu bergairah melempar gagasan di pertengahan malam. 

Topik yang biasa dipergunjingkan bervariasi mulai dari hal-hal yang menyangkut aurat pemerintah, ambiguitas arah teknologi, sampai cara menyedu kopi yang tepat dan berselera. Maklum, Thouf pernah menjadi perakit handal segala jenis menu kopi di suatu kedai sewaktu nganggur menunggu hasil lamaran untuk melanjutkan ngilmu.

Semalam ia menginap di kamarku. Dan malam itu sengaja ia menumpang di kamarku sebab kebetulan lampu kamarnya kedap-kedip seolah-olah mulai sekarat lantas mati seketika. Ia sempat memprotes kepada bibi penjaga asrama di lantai kami, namun ia sarankan agar menginap dulu ke kamar lain, sebab besok baru bisa diperbaiki. 

Sejak malam itu, memang cuaca begitu dingin dan gelap. Kami hanya menyambutnya gembira, mungkin pertanda musim gugur akan pergi atau musim dingin beranjak datang kemari dengan membawa setumpuk bendungan salju tebal. Yang sekali turun salju itu, memutihkan segalanya. Suci.

***

"Kenapa begitu, Bang?" tanyaku menggerutu.

"Lihatlah itu! Tuhan telah geram lantas menyingkap segala tabir kekerdilan kita!..." Sahutnya menggebu-gebu. Di dalam ruang setapak penuh kesunyian yang mencekam. Thouf menunjuk pepohonan di balik jendela yang mulai menekuk ditiup angin. Aku masih tak paham atas apa yang ia maksud. 

Sejak angin berpusar, kami sempat tak mampu melihat apa pun. Pusaran itu menyeka mata kami dari gangguan angin beserta lebat hujannya yang memercik ke lapisan terluar jendela kaca kami. "Kau tahu hukum alam kan?" Tanyanya sembari menatap mataku menyeruak dalam. Lalu aku menyahut dengan mengangguk kepala seraya meyakinkan dia.

"Bumi kita sudah berumur dan semakin tua, sedangkan makhluk yang mendudukinya kian hari semakin membludak. Ini seperti bom waktu! Populasi manusia selalu saja meningkat dibandingkan yang lain. Sebuah keniscayaan memang. Sialnya, kita sekonyong-konyong memenggal leher mereka, membunuh mereka, memusnahkan mereka, membabat mereka, menggundulkan mereka sampai botak nan tandus!. Kita yang diberi anugerah akal dan kemampuan berpikir, masih setengah-setengah memperalatkannya! Sangat rakus dan selfish segala tindakan kita..."

"Bukankah kita juga punya hati sebagai perasa?" Sangkalku.

"Tentu hati, perasa pasti. Namun, kompleksitas fungsinya bukan sekedar itu. Ia juga bisa berkeinginan, berkemauan, iri, dengki, dan terdapat mode bentuk emosional yang lain, yang barangkali diam-diam bersekongkol dengan nafsu. Kendalinya dimana? Tentu, pada rasionalitas akal pikiran yang jernih, sebagai penopang dialektika bersama hati untuk menghasilkan keputusan yang bijaksana, yang presisi, yang sekedarnya, yang sebutuhnya saja. Ingat! Bedakan antara kebutuhan dan keinginan. Yang primer dan yang sekunder...."

Suaranya perlahan mengecil dalam tangkapan telingaku, lalu menghilang jadi hening. Entah, ada sesuatu yang membelah pendengaranku atas apa yang ia bicarakan. Aku hanya melihat mulutnya yang sedang bertutur tanpa bunyi. 

Sebilah suara angin dan derasnya hujan di balik bibir jendela pun ikut terdiam. Hanya bunyi teriang-ngiang yang hening menelisik sepi. Mataku perlahan tak kuasa lalu terpejam, dan aku terpungkur lantas tertidur. Lelah sekali lagi. Sungguh.

Changchun, Sept 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun