"Bukankah kita juga punya hati sebagai perasa?"Â Sangkalku.
"Tentu hati, perasa pasti. Namun, kompleksitas fungsinya bukan sekedar itu. Ia juga bisa berkeinginan, berkemauan, iri, dengki, dan terdapat mode bentuk emosional yang lain, yang barangkali diam-diam bersekongkol dengan nafsu. Kendalinya dimana? Tentu, pada rasionalitas akal pikiran yang jernih, sebagai penopang dialektika bersama hati untuk menghasilkan keputusan yang bijaksana, yang presisi, yang sekedarnya, yang sebutuhnya saja. Ingat! Bedakan antara kebutuhan dan keinginan. Yang primer dan yang sekunder...."
Suaranya perlahan mengecil dalam tangkapan telingaku, lalu menghilang jadi hening. Entah, ada sesuatu yang membelah pendengaranku atas apa yang ia bicarakan. Aku hanya melihat mulutnya yang sedang bertutur tanpa bunyi.Â
Sebilah suara angin dan derasnya hujan di balik bibir jendela pun ikut terdiam. Hanya bunyi teriang-ngiang yang hening menelisik sepi. Mataku perlahan tak kuasa lalu terpejam, dan aku terpungkur lantas tertidur. Lelah sekali lagi. Sungguh.
Changchun, Sept 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H