Mohon tunggu...
pintukata
pintukata Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis Bebas.

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebilah Suara Angin

13 September 2020   20:06 Diperbarui: 13 September 2020   20:13 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bukankah kita juga punya hati sebagai perasa?" Sangkalku.

"Tentu hati, perasa pasti. Namun, kompleksitas fungsinya bukan sekedar itu. Ia juga bisa berkeinginan, berkemauan, iri, dengki, dan terdapat mode bentuk emosional yang lain, yang barangkali diam-diam bersekongkol dengan nafsu. Kendalinya dimana? Tentu, pada rasionalitas akal pikiran yang jernih, sebagai penopang dialektika bersama hati untuk menghasilkan keputusan yang bijaksana, yang presisi, yang sekedarnya, yang sebutuhnya saja. Ingat! Bedakan antara kebutuhan dan keinginan. Yang primer dan yang sekunder...."

Suaranya perlahan mengecil dalam tangkapan telingaku, lalu menghilang jadi hening. Entah, ada sesuatu yang membelah pendengaranku atas apa yang ia bicarakan. Aku hanya melihat mulutnya yang sedang bertutur tanpa bunyi. 

Sebilah suara angin dan derasnya hujan di balik bibir jendela pun ikut terdiam. Hanya bunyi teriang-ngiang yang hening menelisik sepi. Mataku perlahan tak kuasa lalu terpejam, dan aku terpungkur lantas tertidur. Lelah sekali lagi. Sungguh.

Changchun, Sept 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun