"Saya bangga pada ketidakdewasaan dan ketidakpengalaman politik saya." ~ Emmanuel Macron
Saat Emmanuel Macron terpilih sebagai presiden Prancis tahun lalu, usianya baru menginjak 39 tahun. Kala itu, ia dinobatkan sebagai presiden termuda tak hanya di negaranya, tapi juga dunia. Bagi rakyat Prancis sendiri, Macron merupakan simbol pembaharuan, baik dari sektor ekonomi maupun hubungan internasional.
Sebelum Macron, gelar pemimpin termuda sempat disandang Perdana Menteri (PM) Kanada, Justin Trudeau, yaitu diusia 43 tahun. Namun fenomena pemimpin muda ini, ternyata juga menular ke Austria dengan tepilihnya Sebastian Kurz yang terpilih sebagai kanselor diusia 30 tahun. Juga PM Selandia Baru, Jacinda Ardern yang berusia 37 tahun.
Maraknya kepala negara dengan usia yang masih muda ini, diyakini merupakan awal munculnya peralihan sistem kepemimpinan yang awalnya dikuasai oleh generasi di atas 60 tahun atau gerontocracy, ke arah sistem kepemimpinan yang dikuasai generasi muda atau yang dikenal sebagai neocracy.
Sebenarnya, Indonesia sejak awal kemerdekaan telah menganut sistem neocracy, sebab para generasi mudalah yang memperjuangkan terjadinya proklamasi. Saat menjadi presiden pertama republik ini pun, Ir. Soekarno baru berusia 44 tahun. Begitu juga dengan susunan kabinetnya, semuanya diisi oleh para pemuda.
Begitu juga ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan, saat itu usianya baru 45 tahun. Namun selama 32 tahun pemerintahannya, Orde Baru (Orba) membangun oligarki kekuasaan yang cukup kuat, sehingga setelah era reformasi pun, kekuasaan tetap dikuasai oleh para politisi yang umumnya telah memiliki kekuasaan di partai politik.
Akibatnya, pemerintahan Indonesia dikuasai oleh para politikus dari generasi Orba yang berusaha mempertahankan status quo, sehingga sulit bagi generasi muda untuk dapat berkiprah di pemerintahan. Bila pun ada generasi muda yang mendapat kesempatan, umumnya memiliki keterkaitan dengan dinasti politik dari keluarga atau partainya.
Beruntung, jeratan gerontocracy ini lambat laun mampu dikurangi berkat pemberlakuan sistem Pemilu langsung pada 2004, di mana masyarakat memiliki hak untuk memilih sendiri pemimpinnya. Sejak saat itu, bermunculan sejumlah kepala daerah berusia muda yang terbukti berhasil memajukan dan menyejahterakan masyarakatnya. Para pemimpin ini, sebagiannya berasal dari kalangan profesional yang mendapat dukungan dari parpol.
Munculnya para pemimpin muda yang tak hanya visioner dan inovatif, tapi juga bersih dari korupsi ini, pada akhirnya memberikan harapan akan adanya pemerintahan yang lebih baik. Sistem pemilu langsung juga pada akhirnya mampu 'memaksa' parpol untuk mengusung para pemimpin yang memang dikenal dan dekat dengan rakyat.