02.00 pm
Malam ini adalah malam ke delapan setelah kau memilih pergi tanpa pamit. Malam ini kurasakan segalanya kian memburuk, tak hanya perihal hubungan dan hati. Namun, juga tubuhku. Setelah kepergianmu, tak pernah ku habiskan malamku dengan tenang. Bahkan tak jarang, aku bisa pulas tertidur baru ketika fajar menjelang. Ah andai kau tahu, ini adalah bagian terberat dalam hidup yang pernah ku jalani. Bagaimana tidak, ketika malam datang selalu kuhabiskan waktu untuk memikirkanmu. Memikirkan tentang kita, bahwa masih selalu ada harapan yang muncul di setiap kegelisahan ini. Padahal yang aku tahu, melihat namaku di sosial media saja kau sudah tak sudi. Tak heran, mungkin masalah yang ku anggap sepele ini adalah masalah besar bagimu. Jadi, mungkin itu alasan kuat mengapa kau blokir segala sosial mediaku, kau acuhkan segala pesan yang ku kirim untukmu.
Kau tahu, semenjak itu tidurku tak pernah lagi lelap, siangpun ku habiskan untuk melarikan diri. Siang ku habiskan untuk berlari mencari kesibukan diri agar sedikitpun tak terlintas rasa sakit ini. Sedangkan malam ku habiskan dengan kegelisahan dan kerinduan yang kian mencekam. Tak heran jika kini tubuhku tak terkendali dan mudah jatuh sakit.
Apakah itu semua belum cukup untuk membalas semua rasa sakit yang kamu rasakan ?
Apakah kamu tahu, bahwa pembalasan yang paling menyakitkan adalah ketika kamu berhasil membuat hidup seseorang berantakan.
Ah, mengingat masa-masa dahulu ketika kita masih bersama memang sangat menyenangkan. Bahkan untuk membayangkan apa yang terjadi sekarang rasanya teramat menakutkan. Bukannya aku egois karena menahanmu untuk tetap tinggal, aku hanya ingin kau pamit ketika hendak meninggalkanku. Setidaknya rasa sakit itu masih bisa kuredam, karena aku tau alasan apa yang membuatmu memilih jalan lain dan meninggalkanku. Karena setidaknya aku mempunyai alasan untuk melupakanmu.
Ingatkah betapa kurang lebih dua tahun bersama telah banyak meninggalkan alasan untuk dikenang, meninggalkan kenangan yang butuh waktu lama untuk dilupakan. Andaikan kau tahu betapa tersiksanya aku saat ini, tak hanya hati yang sakit, namun juga raga yang kubiasakan tersiksa semenjak kau memilih meniadakannya.
Rasanya ingin kuputar waktu dan berlari sejauh mungkin agar aku tak pernah mengenalmu. Agar aku tak pernah merasakan kehilangan yang maha dahsyat seperti ini. Agar aku tak membiarkanmu menjadi salah satu alasan untuk tetap memperjuangkan hidupku. Sehingga, ketika kau memilih pergi takkan pernah ku rasakan luka sedalam ini.
Apakah kau masih akan bersikeras seperti ini hingga akhir, membuatku tak lagi memiliki alasan untuk kembali melanjutkan hidup.
Ingatkah betapa besar kesalahan yang kau perbuat dulu, selalu saja ada alasan untukku memafkannya. Kini, tak ada satu alasan kah yang bisa membuatmu memaafkanku dan melanjutkan segalanya. Atau memang dari awal hubungan ini terjalin, hanya aku yang bersikeras. Seperti ketika aku selalu terbuka dengan segala hal yang ada di hidupku. Sedangkan tak pernah sekalipun ku dengar dongeng yang kau ceritakan tentang hidupmu. Apakah memang dari awal hubungan ini, hanya aku yang senantiasa terbuka dan kamu tak pernah mencobanya.
Aku baru mengingatnya. Ya, mungkin memang benar adanya. Hal seperti ini tak hanya ku rasakan sekali ini saja, namun aku juga pernah kau perlakukan seperti ini sebelumnya. Aku bahkan pernah menunggumu di Alun-alun, namun kau tak kunjung datang. Hanya hujan deras yang datang kala itu, menemaniku sembari menunggumu.
Pun kini, setelah aku mengingatnya lagi. Tak satupun dalam dua tahun ini kau tuliskan ungkapan cintamu di depan khalayak ramai, seperti yang dilakukan setiap laki-laki yang mencintai pasangannya. Apa salahnya jika melakukannya sekali saja, setidaknya ada satu moment yang bisa kuingat. Namun sepertinya ketakutanmu jika dianggap terlalu mengumbar kemesraan di sosial media membuat tak satupun ungkapan cinta kau berikan untukku. Apakah salah jika kau melakukannya, setidaknya ada satu moment yang bisa kuingat nanti.
Pun kini, setelah kau pergi tanpa pamit. Sempat beberapa kali kuintip postingan di sosial mediamu. Namun, tak satupun yang kau tulis tentangku. Apa tak pernah sekalipun aku membuatmu bahagia, apakah yang aku lakukan untukmu selama ini tak bisa menjadikanmu alasan untuk menyelipkan namaku dalam rincian kehidupanmu. Bukan berarti aku ingin menggantikan posisi wanita yang teramat kau kasihi, ibumu. Namun, pantaskah kau tulis hanya ibumu, wanita yang memberikan kebahagiaan untukmu selama ini. Apakah kamu lupa, bahwa ada aku, aku yang selalu mengusahakan kebahagiaanmu. Aku adalah wanita selain ibumu yang mengusahakan itu. Namun, sedikitpun tak pernah kau masukkan aku dalam daftar orang-orang yang menjadikanmu alasan untuk memperjuangkan hidupmu. Tidak seperti aku, yang selalu menjadikanmu salah satu alasan aku memperjuangkan hidup.
Hari ini, aku mohon akhiri semuanya. Terserah pilihan mana yang kau pilih, meninggalkanku atau memperbaiki segalanya. Jika kau memilih meninggalkanku, setidaknya ucapkan kata perpisahan. Agar tak kau siksa aku dengan kepastian yang tak kunjung adanya. Mari, sudahilah segala derita yang ku rasa, segala perih yang ku derita. Karena aku tak kuasa lagi menahannya.
30 Desember 2016, kutulis surat ini bersama hujan yang menemani.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI