Pun kini, setelah aku mengingatnya lagi. Tak satupun dalam dua tahun ini kau tuliskan ungkapan cintamu di depan khalayak ramai, seperti yang dilakukan setiap laki-laki yang mencintai pasangannya. Apa salahnya jika melakukannya sekali saja, setidaknya ada satu moment yang bisa kuingat. Namun sepertinya ketakutanmu jika dianggap terlalu mengumbar kemesraan di sosial media membuat tak satupun ungkapan cinta kau berikan untukku. Apakah salah jika kau melakukannya, setidaknya ada satu moment yang bisa kuingat nanti.
Pun kini, setelah kau pergi tanpa pamit. Sempat beberapa kali kuintip postingan di sosial mediamu. Namun, tak satupun yang kau tulis tentangku. Apa tak pernah sekalipun aku membuatmu bahagia, apakah yang aku lakukan untukmu selama ini tak bisa menjadikanmu alasan untuk menyelipkan namaku dalam rincian kehidupanmu. Bukan berarti aku ingin menggantikan posisi wanita yang teramat kau kasihi, ibumu. Namun, pantaskah kau tulis hanya ibumu, wanita yang memberikan kebahagiaan untukmu selama ini. Apakah kamu lupa, bahwa ada aku, aku yang selalu mengusahakan kebahagiaanmu. Aku adalah wanita selain ibumu yang mengusahakan itu. Namun, sedikitpun tak pernah kau masukkan aku dalam daftar orang-orang yang menjadikanmu alasan untuk memperjuangkan hidupmu. Tidak seperti aku, yang selalu menjadikanmu salah satu alasan aku memperjuangkan hidup.
Hari ini, aku mohon akhiri semuanya. Terserah pilihan mana yang kau pilih, meninggalkanku atau memperbaiki segalanya. Jika kau memilih meninggalkanku, setidaknya ucapkan kata perpisahan. Agar tak kau siksa aku dengan kepastian yang tak kunjung adanya. Mari, sudahilah segala derita yang ku rasa, segala perih yang ku derita. Karena aku tak kuasa lagi menahannya.
30 Desember 2016, kutulis surat ini bersama hujan yang menemani.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI