Mohon tunggu...
Atha Earlene
Atha Earlene Mohon Tunggu... -

........

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dalam Kenangan Selalu Tersimpan Rindu

21 Desember 2016   13:35 Diperbarui: 21 Desember 2016   13:43 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kenangan turun bersama hujan yang jatuh di atas genting. Bunyinya nyaring seperti melodi yang ditabuh oleh angin. Butir-butir air merembas dimuka kaca, sebagian lagi masuk melalui celah sempit di atas jendela. Air hujan terus menerus turun membasahi segalanya yang ada dimuka bumi, baik yang hidup atau yang mati.

Dedaunan melayang-layang dimainkan angin, seperti salju yang ditabur di udara. Rambut hitammu melambai-lambai, sedangkan wajahmu berias air hujan. Baju merah menjadi gelap karena basah dan peluhmu berbaur dengan air.

Angin berhembus memainkan melodi sendu, dan bersamanya, tubuhmu bergerak mengikuti irama.

Kakimu menghentak tanah dengan anggun, tanganmu meliuk-liuk dengan luwes, tubuhmu kau gerakkan mengikuti irama. Rambutmu yang sengaja kau biarkan panjang, ikut menari-nari mengikuti  melodi. Melodi angin yang bersenandung merdu, namun juga sendu. Melodi yang hanya bisa dipahami oleh kita berdua saja. Sesekali senyummu mengembang, menarikku kembali ke masa lalu.

Dalam kenangan selalu tersimpan rindu.

Lampu bersinar temaram menggantikan senja yang ditelan awan kelabu. Kursi goyang ini terasa nyaman untuk tubuhku yang usang dimakan waktu. Secangkir kopi sudah kucicip sebagian, namun enggan kuhabiskan. Suara-suara lain kuacuhkan, hanya suara bisikan hujan, desisan angin dan deru nafasmu yang menghuni gendang telingaku.

“ Kakek, Mau minum lagi tidak?”, Aku pura-pura tidak dengar.

“ Kakek, di luar hujan, jangan duduk diteras, nanti sakit loh “, yang kudengar hanya percikan air yang beradu dengan hentakan kakimu.

“ Kakek, masuk saja, nanti saya bua...”, dan semuanya seperti tidak ada. Hanya kamu dan aku yang hidup di dunia ini.

Kamu terus menari sambil sesekali melirik kearahku. Tidak perlu lidah pendongeng untuk menceritakan sebuah kisah. Cukup memandangi matamu aku akan menemukan jutaan kisah yang lebih indah dari dongeng. Kisah itu seindah matamu yang bening, juga sepilu matamu yang gelap.

Matamu membisikkan kisah kita yang lalu. Dimana kita masih menjadi teman, lalu menjadi kekasih, lalu kau kupersunting, lalu tuhan memberi kita putra, lalu putra kita menemukan pasangannya, lalu tuhan memberi kita cucu, lalu tuhan memberi kita cucu kedua, lalu kau jatuh sakit, lalu kau banyak tidur, lalu kau tidur untuk selamanya.

Dalam kenangan selalu tersimpan rindu.

Kamu masih menari walaupun hujan terus menguyur tanah. Butiran air masih saja jatuh dari angkasa yang kelabu. Tubuhmu meliuk-liuk dengan indah, kakimu bergerak gemulai. Irama sendu membuat tarianmu melambat. Sesekali kamu meliriku dan mata kita kembali bertemu.

Masih kukenang sumpah kita pada hari pernikahan, bahwa kita akan selalu bersama sampai ajal datang berkunjung. Namun rindu tetaplah rindu, tidak akan hilang bila belum dibayar tuntas. Aku ingin bersamamu menembus ajal. Bersamamu bersembunyi dari waktu. Bersamamu berkelana di dunia abadi. Aku ingin membunuh rindu dengan bersamamu selamanya.

Mata itu selalu mengingatkanku akan indahnya masa lalu. Senyummu yang mengembang ketika mendengar lelucon mengenai laki-laki yang menikah dengan lesbian. Rambutmu yang selalu kau potong rapi agar mirip lady dianna yang terkenal. Suara lembutmu yang selalu kurindu. Juga taman indah guell tempat pertama kali kita bertemu. Juga, tempat terakhir kali kita berpisah.

Waktu pun bergulir seperti mimpi, berputar bagai topan yang menerbangkan segalanya. Rindu ini semakin menumpuk dan semakin menumpuk. Menggunung di dada. Memberatkan langkahku. Membunuh hidupku.

Petir menggelegar di angkasa. Hujan tiba-tiba saja berhenti. Butiran air menggantung di udara, berbentuk bulat seperti kristal. Daun yang terbang masih melayang, namun tidak bergerak. Cangkir yang jatuh masih berdiam di udara, cairan kopi belum menyentuh lantai. Semuanya seperti terhenti dan kamu pun berhenti menari.

Cahaya turun membelah awan kelabu. Turun bagaikan tangga yang menghubungkan dunia dengan langit. Tanganku kau genggam, dan dengan satu hentakan tubuh kita melayang. Melintasi cahaya menuju langit di ujung senja.

“ Kakek, kakek, bangun “, seseorang menguncang tubuhku, namun aku tidak peduli.

Cahaya itu semakin terang.

“ kakek, Kakek, bangun “, guncangan semakin keras, namun aku tidak peduli.

Cahaya itu semakin terang, semakin terang, dan semakin terang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun