Dalam kenangan selalu tersimpan rindu.
Kamu masih menari walaupun hujan terus menguyur tanah. Butiran air masih saja jatuh dari angkasa yang kelabu. Tubuhmu meliuk-liuk dengan indah, kakimu bergerak gemulai. Irama sendu membuat tarianmu melambat. Sesekali kamu meliriku dan mata kita kembali bertemu.
Masih kukenang sumpah kita pada hari pernikahan, bahwa kita akan selalu bersama sampai ajal datang berkunjung. Namun rindu tetaplah rindu, tidak akan hilang bila belum dibayar tuntas. Aku ingin bersamamu menembus ajal. Bersamamu bersembunyi dari waktu. Bersamamu berkelana di dunia abadi. Aku ingin membunuh rindu dengan bersamamu selamanya.
Mata itu selalu mengingatkanku akan indahnya masa lalu. Senyummu yang mengembang ketika mendengar lelucon mengenai laki-laki yang menikah dengan lesbian. Rambutmu yang selalu kau potong rapi agar mirip lady dianna yang terkenal. Suara lembutmu yang selalu kurindu. Juga taman indah guell tempat pertama kali kita bertemu. Juga, tempat terakhir kali kita berpisah.
Waktu pun bergulir seperti mimpi, berputar bagai topan yang menerbangkan segalanya. Rindu ini semakin menumpuk dan semakin menumpuk. Menggunung di dada. Memberatkan langkahku. Membunuh hidupku.
Petir menggelegar di angkasa. Hujan tiba-tiba saja berhenti. Butiran air menggantung di udara, berbentuk bulat seperti kristal. Daun yang terbang masih melayang, namun tidak bergerak. Cangkir yang jatuh masih berdiam di udara, cairan kopi belum menyentuh lantai. Semuanya seperti terhenti dan kamu pun berhenti menari.
Cahaya turun membelah awan kelabu. Turun bagaikan tangga yang menghubungkan dunia dengan langit. Tanganku kau genggam, dan dengan satu hentakan tubuh kita melayang. Melintasi cahaya menuju langit di ujung senja.
“ Kakek, kakek, bangun “, seseorang menguncang tubuhku, namun aku tidak peduli.
Cahaya itu semakin terang.
“ kakek, Kakek, bangun “, guncangan semakin keras, namun aku tidak peduli.
Cahaya itu semakin terang, semakin terang, dan semakin terang.