Mohon tunggu...
Pingkan Maharani
Pingkan Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - EKONOMI PEMBANGUNAN- UNIVERSITAS AIRLANGGA

ESTJ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyusuri Lorong Gelap Kemiskinan Struktural di Indonesia: Sebuah Kejahatan Sistematik yang Mengakar

3 Desember 2024   19:12 Diperbarui: 3 Desember 2024   19:13 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi Kemiskinan Struktural di IndonesiaSumber : https://images.app.goo.gl/anYpUc8irsk3aGQi9

Di balik gemerlap kota-kota besar dan narasi optimisme pertumbuhan ekonomi Indonesia, tersembunyi fakta pilu yang terus menghantui. Kemiskinan struktural sebuah labirin tanpa pintu keluar yang diciptakan oleh sistem itu sendiri telah menjerat jutaan jiwa. Fenomena ini bukan sekadar statistik, melainkan manifestasi dari sebuah tragedi kemanusiaan. Ia bukan lah hanya soal ketidakmampuan individu, melainkan hasil dari sistem sosial, politik, dan ekonomi yang sengaja atau tidak sengaja membatasi akses sebagian besar masyarakat terhadap peluang dan sumber daya. Kemiskinan struktural bukanlah nasib; ia adalah produk dari konstruksi sosial yang kompleks.

Warisan Sistemik

Kemiskinan struktural di Indonesia memiliki akar sejarah yang dalam. Warisan kolonialisme, yang selama ratusan tahun mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia, meninggalkan luka yang terus berdarah. Sistem tanam paksa, eksploitasi tenaga kerja, dan ketimpangan distribusi kekayaan menciptakan pola dominasi yang bertahan hingga kini. Kemerdekaan politik yang diraih pada 1945 sayangnya tidak serta-merta diikuti oleh kemerdekaan ekonomi bagi mayoritas rakyat.

Pasca-kemerdekaan, kebijakan pembangunan yang diorientasikan pada industrialisasi seringkali mengabaikan aspek keadilan sosial. Konsentrasi pembangunan di Jawa, khususnya di kota-kota besar, meninggalkan wilayah-wilayah lain dalam kegelapan. Wilayah seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian Kalimantan masih bergulat dengan keterbatasan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Ketimpangan ini bukan kebetulan, tetapi hasil dari desain kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan distribusi manfaatnya.

Mesin Kapitalisme yang Membelit

Kemiskinan struktural juga merupakan anak kandung kapitalisme global. Indonesia, sebagai bagian dari ekonomi dunia, tidak luput dari jeratan ini. Sistem kapitalisme modern mendikte bahwa keuntungan maksimal menjadi tujuan utama. Dalam konteks ini, rakyat kecil hanya menjadi alat produksi yang dapat digantikan kapan saja.

Privatisasi aset-aset publik, seperti air, listrik, dan pendidikan, telah membuat akses terhadap kebutuhan dasar semakin mahal dan sulit dijangkau. Ketika pendidikan dan kesehatan menjadi komoditas, kelompok miskin kehilangan peluang untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Sementara itu, kelompok elit terus memperkaya diri, memanfaatkan celah dalam regulasi untuk mengakumulasi kekayaan dengan cara yang tidak adil.

Program-program pengentasan kemiskinan seringkali hanya menjadi kosmetik politik. Bantuan langsung tunai atau subsidi bahan bakar hanyalah plester sementara yang menutupi luka mendalam tanpa pernah benar-benar menyembuhkannya. Penyebab utama kemiskinan seperti ketidakadilan dalam distribusi tanah, akses pendidikan, dan lapangan pekerjaan tetap dibiarkan tanpa solusi nyata.

Struktur yang Memenjarakan

Kemiskinan struktural adalah hasil dari kebijakan yang seringkali bias kelas. Misalnya, kebijakan perburuhan yang tidak memadai melanggengkan eksploitasi tenaga kerja. Upah minimum regional (UMR) yang seringkali tidak sebanding dengan kebutuhan hidup layak hanya memperdalam jurang ketimpangan. Pekerja informal yang jumlahnya mendominasi pasar tenaga kerja Indonesia bahkan lebih terpinggirkan, tanpa jaminan sosial atau perlindungan hukum.

Di sektor pertanian, petani kecil menjadi korban kebijakan agraria yang tidak berpihak. Reformasi agraria yang dijanjikan sejak awal kemerdekaan tak kunjung terealisasi. Sebaliknya, konsesi lahan skala besar terus diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar, mengorbankan hak-hak petani kecil dan masyarakat adat. Akibatnya, mereka kehilangan tanah yang menjadi sumber kehidupan mereka dan terpaksa bermigrasi ke kota, hanya untuk menjadi bagian dari kelas pekerja miskin.

Wajah Manusia Kemiskinan

Di balik angka-angka statistik, kemiskinan struktural memiliki wajah manusia. Ia terlihat pada anak-anak yang tumbuh tanpa akses pendidikan yang layak, pada keluarga yang bertahan hidup dengan penghasilan di bawah garis kemiskinan, dan pada masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh tanpa akses sanitasi.

Ketika seorang ibu harus memilih antara memberi makan anaknya atau membeli obat untuk penyakit yang dideritanya, kita menyaksikan bagaimana struktur yang tidak adil menghancurkan martabat manusia. Ketika seorang buruh bekerja lebih dari 12 jam sehari namun tetap tidak mampu menyekolahkan anaknya, kita melihat bagaimana sistem ini merampas masa depan.

Kemiskinan struktural juga berdampak pada kesehatan mental. Ketidakpastian hidup, tekanan ekonomi, dan marginalisasi sosial menciptakan lingkaran setan depresi, kecemasan, dan kehilangan harapan. Ini adalah luka yang seringkali tak terlihat, tetapi sama mematikannya.

Jalan Keluar yang Terbentur Dinding

Mengatasi kemiskinan struktural bukanlah tugas mudah. Ini memerlukan perubahan mendasar dalam cara negara ini merancang dan menjalankan kebijakan. Pertama, redistribusi aset harus menjadi prioritas utama. Reforma agraria sejati yang memberi akses tanah kepada petani kecil adalah langkah awal yang tak terelakkan. Kedua, investasi dalam pendidikan dan kesehatan harus dipandang sebagai hak, bukan sebagai komoditas. Negara harus memastikan bahwa setiap anak memiliki akses ke pendidikan berkualitas tanpa memandang status ekonomi keluarganya.

Selain itu, kebijakan ekonomi harus lebih inklusif. Sektor informal harus diintegrasikan ke dalam perekonomian formal, dengan memberikan perlindungan hukum dan akses ke pembiayaan. Upah yang layak dan kondisi kerja yang manusiawi harus menjadi standar, bukan sekadar impian.

Sebuah Renungan

Kemiskinan struktural adalah dosa kolektif kita sebagai bangsa. Ia mencerminkan kegagalan kita untuk membangun masyarakat yang adil dan bermartabat. Selama sistem ini tetap berdiri tanpa perubahan signifikan, generasi demi generasi akan terus terperangkap dalam lingkaran kemiskinan.

Saatnya kita sebagai masyarakat baik individu, kelompok, maupun pemerintah berhenti menutup mata terhadap kenyataan ini. Membongkar kemiskinan struktural adalah tugas moral yang tak bisa ditunda lagi. Kita perlu menyusun ulang prioritas, memerangi ketidakadilan, dan berani melawan sistem yang selama ini menguntungkan segelintir orang sambil mengorbankan jutaan lainnya. Jika tidak, kemiskinan akan terus menjadi bayangan kelam yang menghantui masa depan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun