Pagi itu suasana di kantor salah satu partai politik di kabupaten Buwana terlihat sangat berbeda. Beberapa orang dengan seragam warna khasnya terlihat sibuk mondar-mandir untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ya, hari itu akan ada kunjungan dari pengurus pusat untuk memberikan penguatan dalam menghadapi pemilu di tahun ini.
Panji-panji partai telah dipasang di pinggiran jalan mulai gapura masuk area kecamatan kota hingga pusatnya di kantor partai. Banyak banner ucapan selamat datang dengan berbagai ukuran bertebaran di mana-mana. Bahkan, seolah-olah kabupaten Buwana hari itu diguyur hujan satu warna sesuai dengan icon partai ini.
Erlangga, ya itu adalah nama yang diberikan oleh Bapakku sebagai simbol orang yang baik dan setia. Aku tercatat sebagai pengurus kabupaten, tepatnya ketua departemen pemuda dan mahasiswa di partai ini. Karena memiliki pasukan yang banyak, aku dipercaya menjadi koordinator lapangan atau sering disebut korlap dalam kegiatan kali ini.
"Bagaimana Friend, semua sudah aman?" aku mencoba memastikan kesiapan dari acara hari ini. Bagiku, kepercayaan adalah segalanya. Saat kita dipercaya oleh orang lain, sedapat mungkin kita harus menjalankannya dengan sempurna dan tidak boleh mengecewakan. Sebutan "Friend" sudah menjadi kebiasaan bagiku. "Friend" melambangkan kesetaraan. Tidak ada pembeda dalam status struktural partai saat menjalankan tugas bersama, yang membedakan hanyalah tugas pokok dan fungsi saat menjalankan tugas mandiri.
"Siap, sudah aman semua Ndan, tinggal jalan aja" jawab temanku sesama panitia.
"Mantap, sebentar lagi tamu datang. Mari kita segera memposisikan diri sesuai dengan rencana." Tambahku memberikan motivasi dan petunjuk kepada teman-teman panitia.
Saat yang ditunggupun telah tiba, iringan mobil dengan suara sirine melengking terdengar semakin keras. Ini menjadi pertanda bahwa tamu dari pusat telah mendekati kantor partai.Â
Kami segera bergegas untuk memposisikan diri sesuai dengan yang telah direncanakan. Sambutan dengan meriah telah kami siapkan. Gamelan pengiring tarian khas daerah kami sudah mulai ditabuh.Â
Lenggak-lenggok gerakan enam perempuan dan laki-laki dengan dandanan khas pun juga telah mengubah suasana. Rombongan pengurus pusat benar-benar menikmati sambutan kami setelah turun dari mobil yang disambut langsung dan didampingi oleh para petinggi struktural partai Kabupaten Buwana.Â
Ketua, wakil ketua, sekjend partai, dan dewan pertimbangan partai ikut mendampingi. Lantas saya ada di mana? Saya bukan petinggi partai, sehingga cukup melihat dari jarak 50 meter saja sekaligus memastikan seluruh kegiatan berjalan lancar dan aman.
Dari jarak itu, samar-samar aku melihat ada seseorang yang menurutku tidak asing ikut dalam rombongan pengurus pusat. Kucoba untuk kembali membelalakkan mataku dan sesekali kusingkirkan bahu dedepanku agar pandanganku lebih jelas. Ya, benar aku tidak asing dengan orang itu. Tapi dalam hati kecilku tetap sangat tidak percaya.
"Pak, perempuan yang berada di samping pengurus pusat itu siapa ya?" tanyaku kepada pak Mijan, salah satu ketua pengurus kecamatan yang kebetulan berada di sampingku.
"Bukannya itu istrinya Pak Raditya pengurus pusat, Mas?" pak Mijan memberitahukan dengan nada balik bertanya.
"Iya, to. Orang mana Pak? Kok kelihatannya saya tidak asing dengan wajah itu." Tambahku menggali informasi kepada pak Mijan yang merupakan senior di partai walaupun dalam kariernya dari dulu tetap sebagai ketua di tingkat kecamatan. Kami mencoba terus berdiskusi pelan sambil berbisik.
"Lho iya Mas, dia sering mendampingi suaminya saat kunjungan partai. Dengar-dengar aslinya dia orang sini, kabupaten Buwana. Hanya saja dia kuliah di luar kota dan menikah hingga sekarang menetap di Jakarta." Penasaranku terus menjadi-jadi. Keinginanku untuk membongkar rasa penasaranku terus membuncah.
Aku mencoba untuk berpindah tempat sebelum tamu dari pusat berjalan tepat di depanku. Beberapa kali aku memposisikan badanku dekat orang yang berbeda-beda. Saat kutanya, semuanya tidak tahu. Tapi kulihat di seberang sana ada pak Budi, dia adalah wakil sekretaris partai. Pelan-pelan aku mendekat padanya.
"Mas Bud, kenapa kok di sini? Kenapa kok tidak bersama pak Ketua mendampingi pengurus pusat?" tanyaku sedikit heran. Banyak orang yang memanggil beliau dengan sebutan "Pak", tapi aku sudah terlanjur terbiasa memanggil "Mas" walaupun beliau seumuran Bapakku.
"Ah nggak Mas, sudah banyak kok yang mendampingi pengurus pusat. Jadi saya di sini saja mendampingi mas Erlangga," beliau menjawab sambil tertawa. Inilah khas beliau, jarang mau muncul di permukaan tapi humoris dan sangat dekat dengan konstituen manapun. Mas Budi memang mantap, dalam hati kecilku.
"Walah Mas Bud bisa saja," jawabku sambil menyambung tawanya.
"Mas, yang di sebelahnya pak Raditya itu benar istrinya ya Mas?" tanyaku.
"Iya, itu istri setianya. Kemanapun pak Raditya berada dia pasti mendampingi."
"Wah setia banget berarti Mas?" tambahku.
"Ya, antara setia atau mengamankan suami agar tidak diambil orang atau mengambil istri orang, hahaha...." Tawa kami pun pecah dan tak sadar kalau beberapa orang di samping kami mengalihkan pandangannya ke kami.
"Mas Bud, istrinya itu apa benar orang sini? Saya dengar kok orang sini to." Tanyaku untuk mengobati penasarankau.
"Walah iya, benar sekali. Dia Bu Ningsih, tetangga desaku. Dia kuliah dan menikah di luar kota. Sekarang menetap di Jakarta." Penjelasannya sama dengan pak Mijan. Tapi Mas Budi kelihatannya lebih tahu karena rumahnya tetangga desa.
"Umurnya jauh di bawah njenengan ya, Mas?" tambahku.
"Iya lah, mungkin seumuran kamu Mas Er. Dia dulu SMA nya masih di sini, kalau tidak salah di SMA Negeri 2 Buwana." Pak Budi terus memberikan cerita.
Tepat sudah prediksiku. Pasti dia Ningsih teman satu kelasku waktu SMA. Kami satu kelas di kelas satu dan dua. Kami berpisah di kelas tiga, saya di jurusan IPA dan dia di IPS. Tepat sudah. Dalam hati kecilku berbicara sendiri.
Dulu dia merupakan perempuan yang berbeda dengan teman-teman satu kelasku. Pendiam tapi sangat mahir berbahasa Inggris. Sering sekali guru kesulitan menjawab pertanyaan dari Ningsih, karena pertanyaannya sudah terlalu jauh dan belum dipersiapkan oleh guru kami.Â
Padahal kalau kita tahu, Ningsih ini tidak pernah ikut bimbingan belajar di manapun mengingat tidak ada biaya untuk itu. Berangkat ke sekolah pun dia menggunakan sepeda "jengki" buntut yang berhias karatan di beberapa bagiannya.
Aku benar-benar yakin bahwa perempuan yang ada di samping pak Raditya itu adalah teman satu kelasku saat SMA. Dia pun pasti tidak akan lupa denganku karena saat itu aku menjadi ketua dan termasuk bintang kelas.Â
Sering juga aku menolongnya dan mencoba memberi solusi saat dia ada kesulitan. Berbekal itulah, keyakinanku tumbuh jika dia melihatku pasti akan menyapa dan mengajak berbicara panjang untuk sejenak mengingat masa silam dan mengenalkan pada suaminya. Biasa, inilah salah satu bagian dari strategi permainan dalam partai politik.
Segera ku atur posisi yang nyaman agar dapat dilihat oleh Bu Ningsih. Sejenak kulupakan Pak Budi yang sedari tadi memberikan banyak informasi yang aku butuhkan.
Langkah demi langkah rombongan pak Raditya semakin dekat. Kucoba singkirkan bahu dan badan yang sekiranya mengganggu jalur pandangan Bu Ningsih padaku. Aku sudah siap berdiri tegak berpose dengan jelas tanpa ada halangan apapun. Akhirnya, sampailah rombongan pak Raditya di depanku, termasuk bu Ningsih. Jalur pandanganpun tidak terhalang oleh siapapu. Ibarat tembakan, peluru itu pasti langsung akan menyasar di kepalaku. Tapi.....
Tatapan Bu Ningsih tetap ke depan, tidak menengok padaku sama sekali.
Usahakau tidak berhenti, kupanggillah beliau.
"Bu Ningsih !" panggilku.
Baru beliau memalingkan wajahnya padaku. Ini menjadi pertanda bahwa targetku hari ini telah berhasil. Senang rasanya dan kulanjutkan misi ini.
"Masih ingat dengan saya, Bu?" kulanjutkan sapaku.
"Wah. Kamu? Saya masih ingat sekali dong." Jawab bu Ningsih.
Senang sekali rasanya aku masih diingat oleh istri pejabat pengurus pusat partai. Artinya, secara jaringan politis akan bertambah dan sangat berpengaruh untuk karier politik saya ke depan. Ini momentum yang sangat luar biasa dan patut disyukuri.
"Tapi kamu siapa ya, saya kok sedikit lupa?" lanjut Bu Ningsih sembari melangkahkan kaki mendampingi suami tercintanya.
Inilah dunia politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H