Mohon tunggu...
Pingkan Hendrayana
Pingkan Hendrayana Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Menyukai dunia organisasi dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ke Mana? (Ikuti Kata Hati)

3 Mei 2024   08:04 Diperbarui: 3 Mei 2024   10:44 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sendiri, mata terpejam seakan hancur. Otakku berjejal seakan berucap kepada dunia. Semua bersimpuh, kebingungan dengan apa yang muncul. Tak terbayang, tak terngiang, tak nampak sedikitpun. Seakan dunia sama sekali tak bersahabat dengan tubuh dan jiwaku. Cucuran keringat, cucuran air mata seraya berjalan menyelimuti tubuh yang gontai. Yang merayap, merangkak -- rangkak tanpa pesona. Aku terdiam sedikitpun tak mampu berucap. Bibir bergetar tanpa irama. Hanya hati yang mampu menangkap. Ocehan lembut nan lirih sang bibir. Kenapa muncul persimpangan dengan kelokan yang tajam? Tangis, sakit, bingun. Hanya itu rasa yang ada. Begitu pahit keadaan ini. Namun semuanya harus aku terima. Apapun yang terjadi. Aku lalui dengan hati.

Untaian kalimat itulah yang mampu menghiasi secuil kertas sebagai teman curahan hati malam itu. Begitu mendalam rasanya yang harus aku nikmati, bahkan mau-tidak mau harus aku anggap indah. Tatkala sebuah keputusan yang berlawanan dari tiga sisi menghinggapi tubuh gontai. Oh maaf, tepatnya keinginan belum menjadi keputusan.

Seorang anak yang menginjak remaja, dengan tubuh kurus empat puluh satu kilogram harus dipaksa untuk mengambil kebijakan dan pilihan. Benteng tembok Cina seolah-olah siap menerkam jikalau pilihan itu salah.

Malam itu menjadi malam yang sulit. Menjadi malam yang tak bisa untuk diceritakan. Pertarungan gagasan, pertarungan angan, bahkan pertarungan perenungan yang kemudian menjadi sebuah pertaruhan hidup. Yaa... semua itu dialami oleh Sakti, seorang anak menginjak remaja lima belas tahun. Sakti tergolong anak pendiam di sekolahnya, namun banyak prestasi yang dimiliki. Baik prestasi akademik maupun non akademik. Di kelas tak pernah dia jauh dari lima besar. PPKn, Bahasa Indonesia dan Penjaskesrek menjadi makanan yang paling disukainya. Dia sudah tidak menganggap tiga hal itu menjadi pelajaran, namun lebih dianggap sebagai makanan. Karena tiada hari tanpa menyentuh materi dari ketiga makanan itu. Terlepas kemudian banyak pelajaran lain yang harus dia kuasai. Selain itu, di non akademik banyak prestasi yang dia miliki. Ekskul pramuka, SKI, Basket, Bola Voli dan Sepak Bola dia ikuti semuanya yang pada puncaknya terpilih menjadi salah satu pengurus OSIS pada bidang yang disukainya, yaitu Bela Negara. Setiap hari Senin dia harus selalu menyiapkan upacara sekaligus petugasnya, dan itu tugas utama dia. Bahkan teman-temannya sering memberi label petugas upacara abadi. Semua itu dia lakukan sebagai wujud dedikasi dan totalitas pada sebuah tanggung jawab.

Namun Sakti adalah Sakti, seorang anak yang terlahir dari keluarga menengah ke bawah. Bukan tidak mampu, tapi kurang mampu. Karena kalau tidak mampu, berarti makan saja kesulitan, tapi tidak untuk Sakti. Makan bisa dikatakan aman, namun di luar itu sedikit menjadi masalah. Inilah likuan hidup, dibalik kenikmatan yang kita miliki pasti ada sisi yang membutuhkan perbaikan yang kemudian dapat dimaknai itulah yang wajib untuk diperjuangkan.

Proses pembelajaran dan kegiatan selama tiga tahun di bangku sekolah menengah pertama telah terlampaui. Bahkan pada saat ujian akhirpun dapat dikatakan berhasil dengan nilai memuaskan. Rasa haru, senang dan bangga menyelimuti kehidupannya saat itu. Segala perjuangan, usaha dan doa yang selama ini dilakukan oleh Sakti bersama kedua orang tuanya telah terkabulkan dan terbalaskan dengan buah yang manis. Berakhir dengan senyuman. Padahal ketika pertama kali Sakti mendaftarkan diri di sekolah menengah pertama, orang tuanya tidak yakin kalau anaknya nanti dapat melaluinya dengan baik sampai lulus. Karena pertimbangan biaya. Bahkan orang tua sudah menyiapkan skoci atau alternatif jika Sakti tak dapat melanjutkan atau berhenti di tengah jalan saat di sekolah menengah pertama. Namun semua itu hanyalah tinggal cerita, semua telah terlalui dengan indah dan nyata.

Malam kamis, menjadi malam pertama munculnya prahara. Apa yang menjadi dugaan dan prediksi Sakti terjadi juga. Saat itu Ibu duduk mendekat di sebuah kursi tua yang panjang yang biasa dipakai duduk santai bersama keluarga. Tangan lembut seorang ibu mengusap kepala Sakti, dan dengan lembut pula sang ibu berucap

"Le...kamu mau sekolah di mana setelah ini?"sebuah harapan yang begitu mendebarkan bagi Sakti. Dari uacapan sang Ibu menunjukkan adanya keinginan untuk memberikan kesempatan padanya melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Padahal, di sekolah menengah pertama itu saja sangat sulit untuk mendapatkan biayanya. Senang sekali dirasakannya saat itu. Namun sebelum dia menjawab, ibunya melanjutkan.

"Kamu sekolah di Madrasah saja ya Le...".

Mendengar hal itu, diam sejenak seluruh anggota tubuhnya. Namun dia berpikir, wajar Ibunya menyarankan untuknya sekolah di tempat itu. Karen, dulu Ibunya lulusan dari salah satu pondok pesantren yang lumayan terkenal. Sakti berpikir pasti Ibu menginginkan anaknya menjadi penerus perjuangannya saat itu. Dia terima arahan dari Ibunya, dan sempat juga dia berpikir, arahan ini baik, patut untuk dipertimbangkan dan dilaksanakan.

Namun keesokan harinya prahara yang kedua muncul. Lebih menggemparkan lagi bagi anak yang menginjak remaja ini. Saat itu lagi-lagi malam hari, tapi bukan malam kamis lagi, malam Jumat tepatnya. Ini malam yang ekstrim atau spesial kata orang. Sehingga banyak yang melakukan kegiatan super penting pada mala ini. Termasuk kejadian super penting yang dialami oleh Sakti. Saat itu tiba-tiba sang Bapak duduk memanggil Sakti. Saktipun datang tanpa beban. Tapi tetap ada sedikit gemetar. Itu sudah wajar. Karena setiap kali dipanggil oleh Bapak pasti ada rasa itu, karena bisa dibilang Bapak adalah orang yang keras namun bijaksana. Tidak banyak bicara, beliau hanya berbicara saat perlu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun