"Silahkan Nak," jawab Ibu dengan lembut.
Mendengar kalimat itu, kaki seolah bergetar sulit untuk dihentikan. Tangan dan seluruh tubuh bergerak, bahkan bumi ini terasa gempa yang membara. Mulut seakan terkunci dan tidak bisa untuk mengeluarkan suara. Namun dengan tekad yang kuat, Sakti memberanikan diri untuk melanjutkan pembicaraan.
"Mohon maaf Bapak dan Ibu, ini terkait dengan kelanjutan sekolah Pak. Kemarin Ibu menginginkan saya melanjutkan ke Madrasah dengan berbagai pertimbangan, Bapak menginginkan saya sekolah di kejuruan begitu juga dengan segala pertimbangan". Dengan sopan Sakti menyampaikannya.
"Terus maksudmu apa?" ucap Bapak memotong kalimat Sakti. Tertunduklah dan diam seketika setelah mendengar kalimat Bapak. Suasana menjadi tambah mencekam, tiada suara sama sekali, seolah dunia mati tanpa penghuni. Namun tiba-tiba ada secercah cahaya yang muncul dari sang Ibu. Ibu tiba-tiba mengelus kepala Sakti sambil berucap.
"Teruskan Nak apa maksud Kamu dan apa yang menjadi keinginanmu".
Akupun belum berani memperlihatkan wajahku di hadapan Bapak dan Ibu.
"Silahkan dilanjutkan" tambah Ibu.
Lagi-lagi dengan beribu bahkan berjuta kekuatan Gibran memberanikan diri melanjutkan ucapannya.
"Mohon maaf sekali lagi Bapak, Ibu. Saya yakin Bapak dan Ibu menginginkan anakmu ini menjadi anak yang sukses, anak yang dapat membanggakan penjenengan berdua, segala daya dan upaya sudah Bapak Ibu lakukan demi anakmu ini, hingga sekarang anakmu telah lulus dari Sekolah Menengah Pertama. Di sini anakmu hanya sebagai wayang Pak Bu, dalangnya adalah penjenengen berdua. Sekarang anakmu sudah menginjak remaja, bolehkah anakmu ini menyampaikan pendapat dan keinginan Pak Bu?"
"Iya Nak, memang kamu sekarang sudah menginjak remaja, sudah saatnya kamu menggunakan akal dan pikiranmu untuk menentukan masa depan", ucap Ibu dengan lembut.
"Tapi harus ingat, apa yang kamu ucapkan tetap harus dapat kamu pertanggung jawabkan", timpal Bapak.