Mohon tunggu...
Pindi Setiawan
Pindi Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FSRD ITB

Sibuklah mencipta ketika orang lain sibuk meniru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kampus Merdeka nan Multidisiplin

30 Januari 2020   17:29 Diperbarui: 30 Januari 2020   17:36 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Secara subtansi, konsep Kampus Merdeka tidak ada yang baru, banyak Perguruan Tinggi merasa perlu melakukan itu, namun terkendala (definisi) aturan-aturan turunan dari UU 12/2012. Saya ingin fokus pada program Kampus Merdeka yang menginginkan mahasiswa bisa mengambil mata kuliah di perguruan tinggi lain, tanpa harus terdaftar sebagai mahasiswa reguler pada perguruan tinggi yang dituju itu. Program ini dikenal dengan Credit Earning Program (CEP).

Pada perguruan tinggi di sejumlah negara maju tempat standar pelayanan pendidikan sudah baik, maka CEP tidak menjadi kendala berarti. Mahasiswa bisa kuliah di perguruan tinggi lain, dan mendapatkan nilai kesetaraan yang terhitung. Bahkan bisa antar perguruan tinggi berbeda negara. Di Indonesia, CEP tidak bisa dilakukan selain ada kendala standar pelayanan pendidikan yang belum sama (atau jomplang), juga ada kendala pada Undang-Undang Pendidikannya (UU 12/2012)

Namun demikian, CEP (seperti yang dimaksud Kampus Merdeka) sebenarnya bukan hal baru di dalam pelayanan pendidikan tinggi di Indonesia. CEP untuk S2 dan S3 sudah resmi menjadi program di ITB. 

Para mahasiswa S2 atau S3 dari perguruan tinggi lain, bisa mengikuti beberapa kuliah reguler tanpa perlu menjadi mahasiswa ITB terlebih dahulu. Namun pilihan mata kuliahnya harus serumpun (UU 12/2012 pasal 10). Pada tingkat S1, ada program Summer School ITB di dalamnya ada dokumen pernyataan kesetaraan credit earning yang berlaku di seluruh PT di Indonesia.

CEP sejatinya terkendala pada pernyataan UU 12/2012 (pasal 10) tentang Rumpun Keilmuan. Salah satu terjemahannya dari pasal ini, bisa ditafsirkan sebagai semua prodi harus menghasilkan lulusan sesuai 'jenis' rumpun keilmuannya. Ini yang ingin 'dimerdekakan' mas Menteri. Tapi ini juga berarti Mas Menteri  tidak hanya mengubah peraturan menteri, namun bisa sampai mengubah Peraturan Pemerintah ataupun Undang-Undang. 

Anyway....

Memang, sudah sejak dulu muncul ide: "Apakah bisa anak (program studi S1) Geologi ITB atau anak Senirupa ITB kuliah di Antropologi Unpad, dan bisa diakui (earning)  kredit-nya?" Masalahnya itu beda 'jenis' rumpun keilmuan. Sudah lama, anak-anak S1 arkeologi bisa sit-in di kelas saya (Mata kuliah Bahasa Rupa-cara membaca relief), tapi tidak bisa earning, karena desain rumpunnya adalah Terapan, sedang Arkeologi rumpunnya Sosial, dan beda program studi pula.

Atau pada kegiatan di luar kampus: bisa tidak ya, mahasiswa Arkeologi ikut penelitian saya (dosen Senirupa) dan kemudian mendapatkan kredit sebagaimana biasanya lulus kuliah pada jurusan arkeologi. Bisa tidak ya para Mahasiswa yang aktif mengamalkan ilmunya di luar kampus kemudian dinilai sebagai jumlah kredit. Pada beberapa kampus swasta sudah menerapkan metode kredit kegiatan non kuliah, sayangnya belum menjadi angka kredit pada kurikulum.

Masalah rumpun keilmuan ini memang jadi 'penyusah' sejak awal. Seni misalnya masuk ke Rumpun Humaniora, namun Seni Penciptaan masuk Rumpun Terapan. Nah, di FSRD ITB itu bisa di bawah satu program studi, yaitu Program Studi Senirupa yang melayani teori Seni dan penciptaan Seni sekaligus. Padahal beda jenis (pendidikan) rumpun kelimuan. Itu tidak sesuai dengan definisi Program Studi pada pasal 1, UU 12/2012: 'Program Studi adalah kesatuan kegiatan Pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan...'.

Barangkali masalah pengekangan rumpun keilmuan inilah yang kemudian menjadi perhatian mas Mentri sejak awal, dan kemudian menggagas Kampus Merdeka. Yang perlu dicermati adalah pada presentasi Kampus Merdeka, mas Nadiem membagi keilmuan tidak berdasarkan rumpun, tapi Ilmu Dasar dan Ilmu (yang jadi) Pembeda (misal pada presentasi itu arsitektur adalah ilmu dasar, desain adalah ilmu pembeda).  Jadi konsep keilmuan pada Kampus Merdeka tampak berbeda dengan konsep rumpun keilmuan pada UU 12/2012. Tapi saya tidak membahas itu..., lain waktu kita bahas.

Maksudnya Kampus Merdeka itu adalah munculnya keilmuan baru, jadi sama dengan program CEP, Pertukaran Pelajar, Magang, dll.  Sangat jelas yang menjadi konsep utama Kampus Merdeka adalah Pengembangan Keilmuan. 

Ini perlu digarisbawahi, karena pengembangan keilmuan itu tidak hanya terjadi karena mahasiswa bebas mengembangkan diri ke kiri ke kanan, namun juga terjadi karena maraknya penelitian kelimuan multidisiplin. (ITB misalnya meluncurkan Program Penelitian Kolaborasi dan World Class University, rasanya UI dan UGM juga membuat yang sama). Penelitian multidisiplin ini adalah penelitian antar rumpun, dan jelas sangat terbuka untuk menghasilkan keilmuan baru yang dibutuhkan dunia masa depan.

Saya sudah sepuluh tahun aktif, melakukan berbagai penelitian multidisplin (walau kadang susah mendapatkan 'kum'), yaitu penelitian Senirupa dan Desain Komunikasi Visual (Rumpun Humaniora dan Rumpun Terapan) yang melibatkan Rumpun Sosial (Arkeologi) dan Rumpun Ilmu Alam (Kimia, Geografi dan Geologi). 

Hasil penelitian ini menyebabkan pengembangan keilmuan yang signifikan bagi dunia (seperti yang diinginkan oleh mas Menteri). Penelitian seperti ini bisa masuk ke jurnal Q1 dan Q2 (dengan impact factor yang signifikan) justru karena kemultidisiplinnya.

Sedikit komentar terkait jurnal internasional, banyak dosen (dan juga anggota DPR) yang gelisah dengan dosen wajib menulis ke jurnal internasional. Ilmunya nanti dicuri katanya. Tapi 'lucunya' mereka tetap 'tenang' ketika ada dosen asing menulis tentang Indonesia di jurnal internasional. Kok lebih senang 'impor' ya, dibandingkan 'ekspor'. Oke.., kembali ke penelitian multidisiplin.

Bila Penelitian Multidisiplin yang kita lakukan berhasil masuk jurnal bereputasi, maka maknanya ada tiga:

  • Bisa menjadi mata kuliah baru yang multidisiplin (ini seperti yang ditawarkan pada program Kampus Merdeka).
  • Bisa menjadi portofolio bagi penelitian lanjut yang lebih luas (kalau humaniora) atau lebih mendalam (kalau rumpun tehnik) atau lebih tepatcara (kalau pada rumpun terapan) demi pengembangan keilmuan-keilmuan baru masa depan.
  • Bisa menjadi 'sumber dana' bagi pengabdian dari keilmuan baru tadi.  Sumber dana tersebut namanya 'worth', yaitu nilai 'keuntungan-virtual' yang dikembalikan kepada penulis untuk dipakai pada program pengabdian (saya dan teman teman sekarang sedang 'menggodog' program pengabdian yang 'terbiayai' worth ini).  Worth dihitung dari Impact factor, impact factor selain menunjukkan seberapa tinggi artikel itu dirujuk (dalam setahun/dua tahun/lima tahun),  juga menunjukkan seberapa banyak media yang merujuk, dan sebanyak apa orang meng-klik artikel itu pada suatu media. Bila 'klik' itu dihitung, maka bisa dikalkulasi worth-monetizing nya (mirip yang dipakai youtuber di dalam menghitung jumlah subcribes). Besarnya monetizing ini yang dikembalikan kepada penulis dalam bentuk program-program pengabdian.

Jadi dengan melakukan penelitian yang baik, kita akan menemukan sesuatu yang baru dan yang multidisiplin (antar rumpun), tidak hanya sekedar interdisiplin (antar sub rumpun yang serumpun)  apalagi hanya penelitian yang cakupannya sub-rumpun. Sebarkan ilmunya ke seluruh dunia, sehingga dunia merasakan manfaatnya. Artinya penelitian multidisiplin itu penting agar kemerdekaan pembiayaan juga bisa terjadi di masa depan dari 'worth' tadi.  

Artinya, Kampus Merdeka itu terjadi karena kebutuhan dan kemajuan keilmuan multidisiplin yang dicapai perguruan tinggi tersebut. Matakuliah yang multidisiplin itu akan terjadi dengan sendirinya juga, seperti yang diharapkan pada konsep Kampus Merdeka. Dengan demikian credit earning program dibangun karena dibutuhkan, bukan dibangun karena sekedar keinginan saja. Tentu, pelayanan pendidikan multidisiplin ini tidak bisa dibangun dalam setahun, tapi sejumlah tahun.

Sebenarnya saya sebagai dosen yang meneliti ingin lebih jauh merdekanya, bisa tidak ya dosen meneliti di luar kampus beberapa bulan (mengingat Indonesia itu besar) dan diberi cuti mengajar demi menjalankan penelitian multidisiplin. Dan kemudian mengajarkan hasil penelitian tersebut ke mahasiswa-mahasiswa di multikampus. Mahasiswa mendapatkan sesuatu yang update pastinya, melebihi update pustaka terkini. Asyikk...

Salut buat mas Menteri berani membuka wacana kemerdekaan, apalagi bila berhasil membuat Kampus Merdeka: merdeka mahasiswanya, merdeka penelitiannya, merdeka dosennya, merdeka mengembangkan keilmuan yang multidisiplin. 

Akhir kata, biarkanlah Kampus mengembangkan konsep kemerdekaannya sendiri, sesuai pasal 62 (UU 12/2012). Pemerintah tentu perlu memantau, memberi batasan terluar, dan jangan terlalu (terbiasa) mendikte. Kampus yang Merdeka itu pasti akan terjadi dengan sendirinya.. MERDEKA....!!! 

Pindi Setiawan
Dosen FSRD ITB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun