Ini perlu digarisbawahi, karena pengembangan keilmuan itu tidak hanya terjadi karena mahasiswa bebas mengembangkan diri ke kiri ke kanan, namun juga terjadi karena maraknya penelitian kelimuan multidisiplin. (ITB misalnya meluncurkan Program Penelitian Kolaborasi dan World Class University, rasanya UI dan UGM juga membuat yang sama). Penelitian multidisiplin ini adalah penelitian antar rumpun, dan jelas sangat terbuka untuk menghasilkan keilmuan baru yang dibutuhkan dunia masa depan.
Saya sudah sepuluh tahun aktif, melakukan berbagai penelitian multidisplin (walau kadang susah mendapatkan 'kum'), yaitu penelitian Senirupa dan Desain Komunikasi Visual (Rumpun Humaniora dan Rumpun Terapan) yang melibatkan Rumpun Sosial (Arkeologi) dan Rumpun Ilmu Alam (Kimia, Geografi dan Geologi).Â
Hasil penelitian ini menyebabkan pengembangan keilmuan yang signifikan bagi dunia (seperti yang diinginkan oleh mas Menteri). Penelitian seperti ini bisa masuk ke jurnal Q1 dan Q2 (dengan impact factor yang signifikan) justru karena kemultidisiplinnya.
Sedikit komentar terkait jurnal internasional, banyak dosen (dan juga anggota DPR) yang gelisah dengan dosen wajib menulis ke jurnal internasional. Ilmunya nanti dicuri katanya. Tapi 'lucunya' mereka tetap 'tenang' ketika ada dosen asing menulis tentang Indonesia di jurnal internasional. Kok lebih senang 'impor' ya, dibandingkan 'ekspor'. Oke.., kembali ke penelitian multidisiplin.
Bila Penelitian Multidisiplin yang kita lakukan berhasil masuk jurnal bereputasi, maka maknanya ada tiga:
- Bisa menjadi mata kuliah baru yang multidisiplin (ini seperti yang ditawarkan pada program Kampus Merdeka).
- Bisa menjadi portofolio bagi penelitian lanjut yang lebih luas (kalau humaniora) atau lebih mendalam (kalau rumpun tehnik) atau lebih tepatcara (kalau pada rumpun terapan) demi pengembangan keilmuan-keilmuan baru masa depan.
- Bisa menjadi 'sumber dana' bagi pengabdian dari keilmuan baru tadi.  Sumber dana tersebut namanya 'worth', yaitu nilai 'keuntungan-virtual' yang dikembalikan kepada penulis untuk dipakai pada program pengabdian (saya dan teman teman sekarang sedang 'menggodog' program pengabdian yang 'terbiayai' worth ini).  Worth dihitung dari Impact factor, impact factor selain menunjukkan seberapa tinggi artikel itu dirujuk (dalam setahun/dua tahun/lima tahun),  juga menunjukkan seberapa banyak media yang merujuk, dan sebanyak apa orang meng-klik artikel itu pada suatu media. Bila 'klik' itu dihitung, maka bisa dikalkulasi worth-monetizing nya (mirip yang dipakai youtuber di dalam menghitung jumlah subcribes). Besarnya monetizing ini yang dikembalikan kepada penulis dalam bentuk program-program pengabdian.
Jadi dengan melakukan penelitian yang baik, kita akan menemukan sesuatu yang baru dan yang multidisiplin (antar rumpun), tidak hanya sekedar interdisiplin (antar sub rumpun yang serumpun) Â apalagi hanya penelitian yang cakupannya sub-rumpun. Sebarkan ilmunya ke seluruh dunia, sehingga dunia merasakan manfaatnya. Artinya penelitian multidisiplin itu penting agar kemerdekaan pembiayaan juga bisa terjadi di masa depan dari 'worth' tadi. Â
Artinya, Kampus Merdeka itu terjadi karena kebutuhan dan kemajuan keilmuan multidisiplin yang dicapai perguruan tinggi tersebut. Matakuliah yang multidisiplin itu akan terjadi dengan sendirinya juga, seperti yang diharapkan pada konsep Kampus Merdeka. Dengan demikian credit earning program dibangun karena dibutuhkan, bukan dibangun karena sekedar keinginan saja. Tentu, pelayanan pendidikan multidisiplin ini tidak bisa dibangun dalam setahun, tapi sejumlah tahun.
Sebenarnya saya sebagai dosen yang meneliti ingin lebih jauh merdekanya, bisa tidak ya dosen meneliti di luar kampus beberapa bulan (mengingat Indonesia itu besar) dan diberi cuti mengajar demi menjalankan penelitian multidisiplin. Dan kemudian mengajarkan hasil penelitian tersebut ke mahasiswa-mahasiswa di multikampus. Mahasiswa mendapatkan sesuatu yang update pastinya, melebihi update pustaka terkini. Asyikk...
Salut buat mas Menteri berani membuka wacana kemerdekaan, apalagi bila berhasil membuat Kampus Merdeka: merdeka mahasiswanya, merdeka penelitiannya, merdeka dosennya, merdeka mengembangkan keilmuan yang multidisiplin.Â
Akhir kata, biarkanlah Kampus mengembangkan konsep kemerdekaannya sendiri, sesuai pasal 62 (UU 12/2012). Pemerintah tentu perlu memantau, memberi batasan terluar, dan jangan terlalu (terbiasa) mendikte. Kampus yang Merdeka itu pasti akan terjadi dengan sendirinya.. MERDEKA....!!!Â
Pindi Setiawan
Dosen FSRD ITB