Rudi, seorang anak petani dari sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau. Penampilannya dekil, ditambah dengan pakaiannya yang sudah lusuh. Kegiatannya sehari-hari selain bersekolah ialah membantu ayahnya di ladang. Ladang yang menjadi sumber mata pencaharian utama bagi keluarganya, di ladang itu ditanam bebagai sayuran hijau dan tanaman lainnya untuk nantinya dijual ke pasar, bagi mereka berada di bawah panasnya matahari sudah menjadi hal biasa. Rudi sekeluarga tinggal di sebuah gubuk kecil dari bilik bambu yang beralas tanah.
Namun dibalik kehidupan yang serba kekurangan itu, Rudi memiliki mimpi besar untuk melanjutkan pendidikannya ke bangku perkuliahan. Mimpi itu bukan sembarang mimpi, Rudi termasuk salah satu siswa berprestasi di sekolahnya. Tapi disisi lain, banyak juga temannya yang seringkali mengejek keinginannya untuk berkuliah itu.
"Mendingan kamu gausah mimpi ketinggian buat kuliah, iyasi pinter, tapi miskin" ejek teman sebayanya, disertai tawa sinisnya.
"Kenapa tidak? Mimpi itu gratis. Aku juga akan terus berusaha," jawab 'si miskin' dengan penuh semangat.
Bel istirahat berbunyi, para siswa berhamburan ke kantin untuk membeli makan begitu juga dengan Rudi, tapi bedanya dia bukan pembeli namun penjual keliling. Dua wadah berisi gorengan kini ludas habis, lebih tepatnya tersisa 5 gorengan di dalamnya. Hingga seorang guru menghampirinya, bukan hanya untuk menghabiskan jualannya, tetapi juga memberi informasi emas baginya.
Di perjalanan pulang, Rudi berjalan sambil membaca sebuah poster yang diberikan guru saat membeli jualannya tadi. Itu adalah poster tentang beasiswa untuk siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu. "Ini kesempatan yang tidak boleh aku lewatkan," pikirnya.
Rudi sadar bahwa dia berasal dari keluarga yang sangat sederhana, bisa makan setiap hari saja sudah lebih dari bersyukur. Oleh sebab itu, sedari dia duduk di bangku sekolah dasar (SD) hingga sekarang di sekolah menengah atas (SMA), Rudi selalu memperoleh beasiswa karena prestasinya di bidang akademik maupun non-akademik. Ia tahu bahwa untuk bisa bersaing dengan anak-anak dari keluarga mampu, ia harus belajar lebih keras.
"Kamu yakin bisa dapatin beasiswa ini?" tanya Rio, teman sebangkunya sekarang.
"Yakin aja kalau usaha tidak akan mengkhianati hasil. Kalau aku ngga nyoba, aku udah kalah duluan," jawab Rudi dengan penuh keyakinan.
Hari-hari berlalu dengan penuh harapan dan kerja keras. Rudi menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan sekolah, ia juga mengikuti berbagai lomba non-akademik untuk meningkatkan prestasinya.
Setelah mengumpulkan semua berkas persyaratan beasiswa dan dilewatinya sesi wawancara, kini waktunya menunggu informasi kelulusan. "Ikhtiar aja kak, kalau ini yang terbaik pasti dilancarin jalannya" ucap sang ibu pada anak tertuanya. "Kalau diterima kuliah nanti, aku selangin ambil part time juga ya bu, biar adek bisa tetep sekolah."
Hingga beberapa pekan kemudian, seorang guru kembali menghampiri dirinya. Bukan hanya membeli gorengan yang dijual, tetapi juga memberi sebuah koran. "Coba baca, kamu pasti seneng bacanya!"
"Bu, Ayah! Aku diterima aku lolos beasiswa kuliah!" teriak Rudi penuh sukacita.
Air mata kebahagiaan mengalir di wajah ibunya. "Kami bangga padamu, Nak! Ini semua berkat kerja kerasmu," ucap sang ibu sambil memeluknya erat.
Rudi tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Ia harus belajar lebih keras dan membuktikan bahwa anak dari petani pun bisa meraih mimpi besar. Setiap kali merasa lelah, ia mengingat kata-kata ayahnya, "Mimpi itu seperti benih, jika kamu tanam dengan baik dan rawat dengan cinta, ia akan tumbuh menjadi pohon yang kuat."
Ia ingin membuktikan kepada teman-temannya bahwa keterbatasan ekonomi bukanlah penghalang untuk meraih cita-cita. Mimpinya kini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk menginspirasi anak-anak lain di desanya agar berani bermimpi setinggi langit.
Rudi adalah contoh nyata bahwa bermimpi dan mewujudkan mimpi itu adalah hak bagi semua orang, termasuk mereka 'si miskin'. Dengan bermodal keberanian dan kerja keras dapat mengubah nasib seseorang dengan terus berjuang demi masa depan yang lebih baik, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk keluarganya dan masyarakat desanya.
**
Penulis: Lina Turohmaniyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H